Jakarta |gabungnyawartawanindonesia.co.id.- Pada hari jum’at 12 desember 2025, ada pun permasalahan utama dalam penegakan perkara lingkungan hidup, lanjut Lulik, terletak pada eksekusi putusan dan kepatuhan pejabat.
Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menggelar Peluncuran Laporan Perdana Indonesian Landmark Environmental Decisions (I-LEAD, pada Kamis (11/12).
Laporan dimaksud, meliputi putusan penting perkara lingkungan dari 1989 hingga 2023, mengacu pada data yang dikumpulkan melalui I-LEAD portal.
Hadir mewakili Mahkamah Agung, yaitu Hakim Agung Kamar Tata Usaha Negara (TUN), Prof. Dr. H. Yodi Martono Wahyunadi, S.H., M.H. dan Hj. Lulik Tri Cahyaningrum, S.H., M.H.
Turut hadir di tengah acara, yaitu Kepala Badan Urusan Administrasi (BUA) MA, yang diwakili oleh Hakim Yustisial pada Biro Hukum dan Humas.
Direktur Pembinaan dan Tenaga Teknis Peradilan Umum, Hasanudin, S.H., M.H., dan Hakim Yustisial pada Kepaniteraan MA, Dr. Sudarsono, S.H., M.H.
Acara dimulai dengan peluncuran simbolis dan presentasi laporan perdana I-LEAD, kemudian dilanjutkan dengan diskusi publik yang menghadirkan empat pembicara.
Diskusi publik yang digelar di Wisma Habibie & Ainun Jakarta itu, mengusung tema “Potret Tiga Dekade Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia dan Arah Perkembangannya.”
Pentingnya Prinsip Kehati-Hatian (Precautionary Principle)
Hakim Agung Kamar TUN, Hj. Lulik Tri Cahyaningrum, S.H., M.H. selaku pembicara pertama, menjelaskan perkembangan signifikan Pengadilan TUN terkait penanganan perkara lingkungan hidup.
Hal ini, termasuk perluasan kewenangan pengadilan untuk mengadili tindakan faktual.
Dalam kesempatan itu, Lulik mengungkap konsistensi dan tindak lanjut putusan Peradilan TUN, dengan merevisi peraturan dan kebijakan yang merusak lingkungan hidup.
Di samping akan mewujudkan kesatuan norma hukum, tambah Lulik, hal itu juga akan menghindarkan badan/pejabat menerbitkan keputusan/tindakan yang melanggar hukum dan merusak lingkungan hidup.
“Konsistensi putusan di kawasan lindung sudah cukup baik, tetapi masih banyak tantangan dari sisi implementasi, termasuk tekanan eksternal kepada hakim lingkungan”, ujar Lulik.
Wanita yang pernah menjabat sebagai Dirjen Badilmiltun itu, turut menegaskan pada pentingnya prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dan kesejahteraan masyarakat dalam pertimbangan putusan yang berkaitan dengan perkara lingkungan hidup.
Adapun permasalahan utama dalam penegakan perkara lingkungan hidup, lanjut Lulik, terletak pada eksekusi putusan dan kepatuhan pejabat pemerintah terhadap putusan pengadilan.
Menurutnya, meskipun pengadilan telah menetapkan amar putusan—misalnya perintah pemulihan lingkungan, pembayaran ganti rugi, atau penghentian suatu kegiatan—sering kali putusan tersebut tidak segera atau tidak sepenuhnya dijalankan.
Kunci Efektivitas Eksekusi Putusan
Berbicara mengenai eksekusi putusan, Dr. Dodi Kurniawan, S.Pt., S.H., M.H., Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup
Kementerian Lingkungan Hidup menyebutkan, kolaborasi lintas lembaga menjadi kunci efektivitas eksekusi hasil putusan.
“Beberapa upaya pemulihan berjalan, namun eksekusi putusan sering terkendala kolaborasi lintas sektor dan keterbatasan kewenangan teknis,” tambahnya.
Pemulihan lingkungan hidup, jelas Dodi, harus didukung oleh semua pihak, dengan kelembagaan dan sarana-prasarana serta SDM yang memadai.
Ia turut menekankan prioritas utama dalam penegakan hukum lingkungan hidup yang menuntut adanya budaya kepatuhan yang kuat dari pelaku usaha, masyarakat, dan pemerintah.
Hal ini, guna mencegah pelanggaran dan menjamin perlindungan lingkungan yang berkelanjutan.
Memaksimalkan Pemulihan Kerugian Negara
Di sisi lain, Muttaqin Harahap, S.H., M.H., Kepala Subdit Prapenuntutan pada Direktorat D Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, menyoroti pentingnya koordinasi lintas lembaga sejak tahap awal penanganan perkara.
Hal ini, mengantisipasi keterbatasan kewenangan penyidik lingkungan.
Ia turut menekankan, perlunya penggunaan instrumen pidana pencucian uang (TPPU) untuk memaksimalkan pemulihan kerugian negara dan masyarakat akibat kejahatan lingkungan.
“Penghitungan kerugian lingkungan masih sering menghadapi kendala. Oleh karena itu, peran ahli diharapkan dapat lebih dioptimalkan”, pungkas Asep.
Faktor Penting Penegakan Hukum Lingkungan
Raynaldo G. Sembiring, S.H., M.Fil., Direktur Eksekutif ICEL menjelaskan, kapasitas dan independensi hakim dalam menangani perkara lingkungan hidup, menjadi faktor penting di tengah tekanan eksternal politik dan ekonomi.
Menurutnya, hal itu untuk memastikan para hakim dapat menjalankan fungsi peradilan secara objektif dan profesional.
Raynaldo mengusulkan perlunya penguatan yang lebih sistematis melalui beberapa aspek seperti, penguatan pembinaan yang berfokus pada integritas dan profesionalisme.
Selain itu, penguatan literasi hukum lingkungan, agar para hakim mampu menilai perkara secara tepat dan berbasis bukti.
Serta, penguatan dukungan organisasi yang memungkinkan hakim bekerja independen tanpa intervensi atau tekanan eksternal.
Sebagai penutup, kegiatan diskusi publik menghadirkan sesi tanya jawab, di mana peserta dapat berinteraksi langsung dan mendapatkan penjelasan mendalam dari para narasumber terkait topik yang dibahas.
Pada akhirnya, penegakan hukum lingkungan merupakan tantangan kompleks yang memerlukan konsistensi, keberanian, kolaborasi, serta dukungan lintas sektor.
Diskusi publik ini juga menekankan, keberhasilan perlindungan dan pemulihan lingkungan hidup ditentukan oleh kapasitas hakim, sinergi lembaga penegak hukum, serta peran aktif masyarakat sipil.
Pentingnya kolaborasi yang berkesinambungan, serentitas dalam tindakan, dan penguatan budaya kepatuhan di semua pihak terkait, menjadi salah satu pesan utama diskusi publik.
(Red/Sumber Penulis : Nadia Yurisa Adila/Humas MA Jakarta)

















