Indonesia |gabungnyawartawanindonesia.co.id.- Wacana tentang pengembalian mekanisme pemilihan kepala daerah melalui anggota legislatif (DPRD) kembali mengemuka.
Narasi ini muncul setelah adanya evaluasi terhadap pelaksanaan Pilkada langsung dalam dua dekade terakhir pascareformasi.
Biaya politik adalah salah satu di antara sekian alasan lainnya yang menjadi episentrum perdebatan di balik bergulirnya wacana pemilihan kepala daerah melalui dewan ini.
Political cost yang dianggap terlalu mahal, ditambah banyaknya sengketa pascapemilu yang kerap memicu konflik horizontal, serta beban anggaran negara yang terus membengkak menjadi alasan bagi sebagian pihak yang menginginkan agar Pilkada sebaiknya ditentukan oleh legislatif daerah.
Namun demikian, muncul pertanyaan di balik berhembusnya diskursus tersebut, yakni: apakah Pilkada langsung masih menjadi mekanisme paling ideal bagi pembangunan kepemimpinan daerah? Ataukah sebaiknya pembaruan sistem melalui pemilihan oleh legislatif perlu dijadikan pertimbangan utama?
*Dasar Argumentasi*
Para pihak yang mendukung wacana kepala daerah dipilih oleh dewan daerah umumnya berangkat dari persoalan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan Pilkada.
Pertama, dasar argumentasi yang kerap dijadikan dalil adalah penghematan biaya politik. Mereka memandang Pilkada langsung mensyaratkan anggaran besar, baik dari negara maupun kandidat.
Pemerintah selaku penyedia anggaran dituntut untuk menyiapkan logistik, alat peraga, tenaga penyelenggara, hingga pengamanan yang semua itu membutuhkan energi dan sumber daya yang sangat besar.
Di samping itu, kandidat juga dianggap wajib mengeluarkan biaya kampanye yang sangat fantastis jumlah biayanya di mana hal ini sering kali tidak sebanding dengan potensi penghasilan jabatan, sehingga membuka ruang korupsi.
Akar korupsi yang selama ini melibatkan banyak kepala daerah dicurigai berasal dari tingginya biaya politik praPilkada ini.
Kedua, selain masalah biaya, potensi konflik horizontal juga diyakini menjadi salah satu penyebab paling signifikan yang membuat Pilkada langsung perlu direvisi kembali.
Pilkada langsung tak jarang memicu ketegangan sosial antar simpatisan, pendukung masing-masing kandidat, terutama di daerah dengan polarisasi politik atau identitas yang kuat.
Alhasil, dengan pemilihan melalui legislatif, mereka percaya bahwa proses pemilihan dianggap lebih terkendali, minim gesekan, dan berlangsung melalui mekanisme institusional.
Ketiga, argumentasi efektivitas juga mendapat porsi kajian yang cukup serius. Pemilihan melalui dewan karenanya dianggap dapat menciptakan proses politik yang lebih terukur, karena setiap calon kepala daerah harus membangun komunikasi politik berbasis program dengan para legislator, bukan sekadar mengandalkan popularitas atau kampanye emosional.
Keempat, terakhir maraknya politik uang (money politics) dalam Pilkada langsung adalah salah satu fenomena yang setiap kali dihelat Pilkada selalu menjadi persoalan paling serius dan sulit dicegah.
Dalam pandangan kelompok ini, ruang politik uang dipercaya mampu ditekan sedemikian mungkin jika Pilkada dikembalikan ke mekanisme dewan, karena kandidat hanya perlu meyakinkan legislatif, bukan memobilisasi dukungan massal yang rawan transaksi elektoral.
*Kontra Narasi*
Meskipun argumentasi yang disampaikan pihak pendukung wacana Pilkada dipilih melalui legislatif memiliki dasar yang kuat dan logis, namun hal itu bukan berarti bisa diterima begitu saja.
Pertama, upaya mempertahankan Pilkada langsung adalah bagian dari komitmen menjaga demokrasi substantif yang telah diperjuangkan hingga titik darah penghabisan sejak Reformasi 1998.
Perlu untuk diingatkan kembali bahwa Pemilihan langsung menempatkan rakyat sebagai sumber legitimasi utama kekuasaan.
Mekanisme ini bukan sekadar proseduralitas demokrasi yang menekankan pada dimensi elektoralisme semata, tetapi juga menjadikan hal ini sebagai sarana pendidikan politik, artikulasi aspirasi, dan medium untuk memastikan bahwa kepala daerah benar-benar memperoleh mandat masyarakat.
Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa Pilkada langsung dapat memperkuat akuntabilitas vertikal.
Percaya atau tidak, kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat wajib mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada publik, bukan kepada elite legislatif.
Ketika pemilihan diserahkan kepada legislatif, maka potensi transaksi politik, lobi tertutup, hingga kompromi elite justru tidak bisa dihindarkan dan berpotensi meningkat drastis.
Jadi, alih-alih menghindari cost politik dari Pilkada langsung, justru dengan mengembalikan mekanisme pemilihan ke tangan dewan dapat memicu risiko oligarki politik baru yang jauh lebih besar dibandingkan pada Pilkada langsung yang diawasi publik luas.
Kedua, menyerahkan mekanisme pemilihan kepada legislatif juga bermakna suatu kemunduran demokrasi yang yang selama ini bersusah payah dilahirkan dan dibesarkan.
Reformasi telah memberikan ruang otoritas ke ke tangan rakyat untuk memutus rantai politik transaksional dan politik uang yang sebelumnya mendominasi iklim perpolitikan tanah air.
Karenanya, menghidupkan kembali model lama sama halnya dengan mengingkari semangat keterbukaan, partisipasi, dan penguatan masyarakat sipil.
Ketiga, Pilkada langsung merupakan saluran penting bagi terciptanya konsolidasi demokrasi daerah yang sehat dan kompetitif.
Pilkada langsung dapat memungkinkan munculnya kepemimpinan alternatif, di tengah kandidat yang telah disetting oleh pihak tertentu.
Demikian, apabila pemilihan kembali ke DPRD, maka mobilitas politik ini akan tersumbat karena kandidat harus tunduk pada struktur internal partai dan negosiasi tertutup, bukan lagi kepada rakyat selaku pemberi mandat.
Keempat, yang tidak kalah penting dari alasan tetap mempertahankan Pilkada langsung adalah untuk membangun demokrasi yang sehat melalui penguatan partisipasi warga yang luas.
Pilkada langsung merupakan sarana demokrasi yang mampu memberikan ruang bagi masyarakat untuk terlibat, mengawasi proses politik, hingga mendorong isu-isu kebijakan publik masuk dalam agenda pemilihan. Karena itu, Pemilihan oleh legislatif akan mengubur kesempatan ini.
Dengan demikian, mempertahankan Pilkada langsung adalah bagian dari menjaga arah demokrasi Indonesia agar tetap berada di jalur yang benar sesuai apa yang selama ini telah diperjuangkan bersama-sama.
(Red/Sumber Penulis : Ketua Umum Ikatan Media Online (IMO) Indonesia/Oleh : Yakub F. Ismail)

















