Jakarta |gabungnyawartawanindonesia.co.id.- Pada tanggal 17 desember 2025, insiden penyerangan terhadap anggota TNI oleh 15 warga negara asing (WNA) asal China di area tambang emas PT Sultan Rafli Mandiri (SRM) Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, pada Minggu (14/12/2025) menjadi sorotan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Monitor Aparatur untuk Negara & Golongan (MAUNG) Pusat. Kasus yang dipicu oleh aktivitas drone ilegal dan berujung pada serangan menggunakan senjata tajam, airsoft gun, serta alat setrum, menimbulkan kekhawatiran terhadap keamanan negara dan efektifitas sistem pengawasan orang asing di daerah.

Scroll Untuk Lanjut Membaca
LSM MAUNG Soroti, Kasus Penyerangan TNI Oleh 15 WNA China : Panggilan Untuk Pengawasan SIPORA, Yang Lebih Kuat.

“Kami melihat kasus ini sebagai tanda penting bahwa pengawasan terhadap keberadaan dan aktivitas WNA di Indonesia harus diperkuat, terutama di sektor yang berpotensi menimbulkan masalah keamanan seperti pertambangan,” ujar Hadysa Prana Ketua Umum LSM MAUNG dalam keterangan resmi DPP MAUNG. “Tidak hanya penegakan hukum pidana yang harus dilakukan, tetapi juga pengecekan ulang terhadap proses perizinan dan pengawasan administratif yang berjalan, termasuk melalui sistem yang ada seperti Tim Koordinasi Pengawasan Orang Asing (SIPORA).”

SIPORA, yang dibentuk di berbagai daerah seperti Cimahi dan Bekasi, berfungsi sebagai wadah koordinasi antar instansi (imigrasi, polri, TNI, dinas kependudukan dan tenaga kerja, serta instansi terkait) untuk memantau keberadaan WNA. Secara hukum, pengawasan orang asing diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, khususnya Pasal 68 yang mengatur tentang pemantauan aktivitas WNA selama berada di Indonesia. Aturan lebih rinci juga tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2021 (Pasal 180 dan 181) serta Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 4 Tahun 2017 tentang tata cara pengawasan keimigrasian.

Menurut MAUNG, meskipun sistem hukum sudah ada, implementasinya di lapangan masih sering menghadapi tantangan, seperti lemahnya sinergi antar instansi, deteksi dini terhadap pelanggaran izin, dan pengecekan aktivitas WNA yang tidak sesuai dengan izin yang dimiliki. Dalam kasus Ketapang, data Imigrasi Ketapang menunjukkan bahwa sebagian besar TKA China di PT SRM memiliki Izin Tinggal Terbatas (ITAS) yang sah, namun aktivitas yang dilakukan oleh 15 WNA yang terduga terlibat penyerangan menunjukkan adanya celah dalam pemantauan aktivitas sehari-hari.

“Kami mendesak aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti kasus ini secara tegas dan adil, baik dari sisi pidana maupun keimigrasian,” tegas Ketua Umum MAUNG. “Selain itu, instansi terkait harus mengevaluasi kembali efektivitas SIPORA dan sistem pengawasan lainnya, agar tidak terulang lagi kasus yang membahayakan keamanan negara dan keamanan masyarakat.”

MAUNG juga mengajak masyarakat untuk berperan aktif dalam memantau aktivitas WNA di sekitarnya dan melaporkan ke instansi berwenang jika menemukan tanda-tanda yang mencurigakan. “Kontrol sosial dari masyarakat adalah bagian penting dalam membangun sistem pengawasan yang komprehensif dan efektif,” tambahnya.

Sebagai penutup, MAUNG menekankan bahwa keberadaan WNA di Indonesia harus selalu berada dalam bingkai hukum dan memberikan manfaat bagi pembangunan negara. Kasus penyerangan TNI di Ketapang harus menjadi momentum untuk memperbaiki sistem pengawasan dan menegaskan kedaulatan negara, sehingga Indonesia tetap menjadi tempat yang aman dan kondusif bagi semua warga, baik warga negara Indonesia maupun WNA yang mematuhi aturan.

(Publisher : Tim/Red/Sumber Penulis : Tim Maung)

Reporter: Perwakilan GWI Aceh