Sintang,gabunganwartawanindonesia.co.id – Kalbar — Ketegangan antara warga dan PT HPI kembali mencuat setelah saudara Idin Mahendro dipanggil oleh Polda Kalbar untuk memberikan klarifikasi sebagai saksi atas laporan perusahaan yang menuduh dirinya melakukan panen di area HGU. Pemanggilan dilakukan pada Rabu, 19/11/2025.
Warga menolak tegas tuduhan tersebut dan meminta kepolisian menelusuri ulang batas HGU serta memastikan keabsahan sertifikat lahan milik masyarakat.
Dalam pemeriksaan, penyidik menanyakan asal-usul sertifikat, instansi penerbit, dan syarat penerbitan. Warga menegaskan bahwa seluruh proses tersebut merupakan kewenangan Badan Pertanahan Nasional (BPN), sehingga sertifikat masyarakat sah secara hukum.
“Jika sertifikat diterbitkan BPN, itu berarti lokasinya berada di luar HGU perusahaan. Negara tidak mungkin menerbitkan sertifikat di dalam HGU,” tegas perwakilan warga.
Iden Mahendro juga menjelaskan bahwa panen dilakukan di lahan miliknya sesuai sertifikat, bukan di tanah perusahaan. Ia menepis klaim perusahaan bahwa lokasi penyimpanan buah disamakan dengan lokasi panen.
“Itu tempat melansir buah, bukan kebun panen. Tuduhan mereka tidak sesuai fakta lapangan,” ujar Iden Mahendro.
Salah satu isu yang mendapat sorotan besar adalah praktik Ganti Rugi Tanaman Tumbuh (GRTT) yang dilakukan perusahaan kepada warga.
Menurut warga, perusahaan memberikan GRTT tanpa mempertimbangkan alas hak yang sah, melainkan hanya berbekal fotokopi KTP, tanpa memeriksa:
SKT/SPT
Riwayat kepemilikan tanah
Surat warisan atau jual beli
Surat asal-usul tanah
Perusahaan disebut menyerahkan GRTT melalui sejumlah pihak, seperti ketua kelompok tani dan ketua koperasi, hanya berdasarkan daftar nama masyarakat.
“Pertanyaannya, sah kah masyarakat menerima GRTT hanya berbekal KTP? Dan bisakah dibuktikan bahwa KTP itu terkait lahan yang diserahkan? Ini menimbulkan dilema hukum,” ujar warga.
Nilai GRT-T yang diberikan perusahaan sekitar Rp300 ribu per hektare, tanpa pencocokan luas lahan dan tanpa verifikasi sertifikat.
Warga menyebut GRT-T ini sebagai tipu muslihat perusahaan untuk melemahkan posisi hukum masyarakat, sebab setelah menerima GRT-T, masyarakat dianggap telah menyerahkan lahannya, padahal tidak ada dasar kepemilikan yang diverifikasi.
Warga menjelaskan bahwa banyak masyarakat baru membuat sertifikat setelah menerima GRTT. Kondisi ini menciptakan kerumitan dalam penyelidikan.
Apakah GRT-T yang hanya berbasis KTP sah secara hukum?
Apakah lahan yang diklaim perusahaan benar milik penerima GRT-T?
Mengapa perusahaan tidak meminta alas hak seperti SPT, SKT, atau bukti riwayat tanah?
“Untuk membuat sertifikat itu harus jelas asal-usul tanahnya. Dari orang tua? Warisan? Jual beli? Hibah? Tidak bisa hanya berbekal KTP. Ini harus ditelusuri oleh penegak hukum,” tegas warga.
Warga juga mencurigai adanya ketidaktransparanan PT Triputra dalam pengelolaan lahan, serta dugaan keterlibatan oknum aparat desa dalam proses pengalihan lahan masyarakat.
Selain itu, warga meminta penyidik memeriksa perizinan IUP dan ILUG perusahaan yang dinilai tidak sesuai kondisi lapangan.
Menurut warga, dokumen perizinan yang tidak valid bisa menjadi pintu masuk untuk membongkar dugaan praktik mafia tanah.
Warga menegaskan bahwa jika PT Triputra merasa memiliki hak atas lahan, seharusnya perusahaan menempuh jalur hukum yang benar, yakni gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Pontianak, bukan melaporkan masyarakat ke polisi.
“Perusahaan tahu masyarakat punya sertifikat. Seharusnya mereka selesaikan lewat PTUN, bukan membuat laporan pidana,” tegas perwakilan warga.
Warga menyebut perusahaan berpotensi melanggar sejumlah pasal, yaitu:
Pasal 372 KUHP – Penggelapan
Pasal 378 KUHP – Penipuan
Pasal 406 KUHP – Perusakan
Pasal 385 KUHP – Penyerobotan Tanah
Warga Desa Serepat meminta Polda Kalbar:
1. Menelusuri ulang batas HGU PT Triputra.
2. Mencocokkan batas tersebut dengan sertifikat masyarakat.
3. Mengusut legalitas GRT-T yang hanya menggunakan KTP.
4. Memeriksa perizinan IUP dan ILUG perusahaan.
5. Mengungkap dugaan mafia tanah dan ketidaktransparanan perusahaan.
6. Melindungi hak masyarakat pemilik sertifikat dari tindakan intimidatif.
“Kami minta Polda jangan hanya menerima laporan perusahaan. Telusuri dulu batas HGU, cocokkan dengan sertifikat warga. Jangan sampai masyarakat yang dirugikan,” tegas perwakilan warga.
Pewarta : Rinto Andreas

















