Sintang,gabunganwartawanindonesia.co.id-Kalbar,– Warga Dusun Lubuk Tapang, Kecamatan Ketungau Hulu, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, kembali menyuarakan keluhan atas dugaan penyerobotan lahan dan pencurian hasil panen oleh pihak perusahaan PT HPI.

Isu ini mencuat setelah sejumlah tokoh adat dan perwakilan masyarakat meninjau langsung kegiatan panen di wilayah tersebut atas undangan Tumenggung Iban Sebaruk.
Salah satu perwakilan masyarakat menjelaskan bahwa kedatangannya bersama rombongan merupakan bentuk dukungan terhadap masyarakat yang sedang berjuang mempertahankan hak atas tanah mereka. Ia menegaskan bahwa kehadiran aparat keamanan, baik dari Brimob maupun TNI, saat kegiatan panen berlangsung dilakukan dengan sopan dan tanpa menimbulkan ketegangan.
“Kedatangan mereka sangat sopan, jadi kita tidak bisa menuduh mereka datang untuk mengontrol keamanan atau menekan masyarakat,” ujarnya.

Namun demikian, ia mengungkapkan adanya kejanggalan dalam proses panen sebelumnya, di mana hasil panen masyarakat diangkut menggunakan mobil pribadi lalu langsung ditukar dengan mobil milik perusahaan tanpa kejelasan tindak lanjut.
“Mereka berdalih sudah melapor ke Polsek atau Kapolres, tapi sampai sekarang tidak ada kejelasan. Ini jelas pelanggaran hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 362, 363, 385, dan 406 KUHP,” tegasnya.
Masyarakat menilai tindakan perusahaan berpotensi melanggar sejumlah ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), antara lain:

Pasal 362 KUHP – Pencurian
Barang siapa mengambil barang milik orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
Pasal 363 KUHP – Pencurian dengan Pemberatan. Jika dilakukan bersama-sama, pada waktu malam, atau dengan cara merusak, ancaman pidana dapat meningkat hingga tujuh tahun penjara.
Pasal 385 KUHP – Penyerobotan Tanah Barang siapa dengan sengaja mengaku sebagai pemilik atau menyuruh orang lain mengerjakan tanah milik orang lain untuk keuntungan pribadi, diancam pidana empat tahun penjara.
Pasal 406 KUHP – Perusakan Barang atau Tanaman. Barang siapa dengan sengaja merusak atau menghancurkan barang atau tanaman milik orang lain, diancam pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.

Masyarakat juga menyoroti dugaan penyalahgunaan nota kesepahaman (MoU) antara perusahaan dan warga, yang disebut hanya berisi Ganti Rugi Tanam Tumbuh (GRTT). Dokumen ini diduga dijadikan dalih bagi perusahaan untuk menguasai lahan di luar Hak Guna Usaha (HGU).
“Perusahaan memakai GRTT sebagai alasan untuk menguasai lahan masyarakat di luar HGU. Ini bentuk kebohongan yang menyesatkan,” ujarnya menambahkan.
Seruan Tumenggung Iban Sebaruk: “Kami Tidak Akan Diam”
Dalam kesempatan itu, Tumenggung Iban Sebaruk menegaskan bahwa masyarakat adat tidak akan tinggal diam apabila hak-hak mereka terus diabaikan oleh perusahaan.
“Kami sudah terlalu lama bersabar. Kalau hak kami terus dirampas dan masyarakat terus dibohongi, kami tidak akan diam,” tegasnya.
“Kami tidak mencari masalah, tapi kami ingin keadilan. Lahan ini milik masyarakat, bukan perusahaan,” lanjutnya.
Tumenggung juga mendesak pemerintah daerah hingga Presiden Republik Indonesia untuk turun langsung melihat kondisi di lapangan.
“Jangan hanya dengar laporan di atas meja. Kami mohon Bapak Presiden turun langsung, lihat bagaimana rakyat di bawah ini berjuang mempertahankan tanahnya,” ujarnya penuh harap.
Ia menyoroti ketidakjelasan pola bagi hasil perusahaan dengan masyarakat yang disebut pola 10-2 atau 8-2, di mana seharusnya warga mendapat dua bagian dari sepuluh. Namun, hingga kini belum ada transparansi.
“Kalau memang ada pembagian, mana buktinya? Sudah hampir satu tahun masyarakat tidak tahu ke mana hasilnya. Ini harus dibuka secara jujur,” katanya.
Beberapa hari terakhir, warga mengaku kesulitan menjual hasil panen karena para pembeli buah sawit takut masuk ke wilayah konflik. Akibatnya, warga harus mengangkut hasil panen menggunakan sepeda motor secara manual.
“Sangat miris. Hari ini bahkan panen masyarakat dihentikan. Tumenggung menegaskan, kalau tidak ada kejelasan dari laporan kami ke Kanwil ATR/BPN Kalbar, masyarakat akan melakukan panen massal,” jelasnya.
Ia juga menyinggung keberadaan oknum TNI pecatan Kopassus dari Jakarta yang diutus oleh perusahaan tersebut mengatakan pada saat melakukan pertemuan 3 Minggu yang lalu,bahwa dia akan menyampaikan berdasarkan arahan dari Pimpinan ingin memanggil masyarakat apakah di Senaning atau di Polres Sintang,sampai detik ini tidak ada kejelasannya bahkan oknum TNI pecatan kopasus tersebut selalu pasang badan di lapangan berdasarkan keterangan dari Muliadi warga lubuk tapang.
“Pihak perusahaan justru menolak ditemui. Humasnya berdalih sudah berdasarkan GRTT dan IUP, padahal mereka sendiri mengatakan IUP masih akan diurus. Itu jelas pembohongan publik,” tegasnya.
Menurutnya, aparat Brimob dan TNI di lapangan tidak dapat berbuat banyak karena hanya menjalankan perintah, sementara sertifikat hak milik masyarakat tetap merupakan dasar hukum terkuat.
“Yang jelas, sertifikat hak milik jauh lebih kuat di mata hukum dibanding GRTT atau IUP yang belum ada,” pungkasnya.
Masyarakat Lubuk Tapang berharap agar pemerintah pusat maupun daerah segera turun tangan menyelesaikan konflik ini secara adil agar tidak terjadi kembali benturan sosial di lapangan.
Pewarta: Rinto Andreas
Editor: Redaksi

















