Detektivinvestigasigwi.com

Scroll Untuk Lanjut Membaca
UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan Digugat di Mahkamah Konstitusi: Negara Harus Memberikan Kepastian Hukum dan Kesejahteraan Bagi Rakyat!

Siaran Pers Tim Advokasi untuk Demokrasi Sektor Keadilan Pajak

*UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan Digugat di Mahkamah Konstitusi: Negara Harus Memberikan Kepastian Hukum dan Kesejahteraan Bagi Rakyat!*
Pada tanggal 10 Maret 2025, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia menggelar Sidang perdana Uji Materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) terkait topik pajak pertambahan nilai (PPN), dengan agenda sidang Pemeriksaan Pendahuluan. Pendaftaran Permohonan Uji Materi ini dilaksanakan pada tanggal 21 Februari 2025 di Kepaniteran Mahkamah Konstitusi (MK).
Para pemohon Uji Materiil terhadap kebijakan PPN terdiri dari berbagai individu dan organisasi yang terdampak langsung. Mereka adalah Asmania, seorang perempuan nelayan yang berdomisili di Pulau Pari, Kepulauan Seribu; Fauzan Hakami, mahasiswa Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, Jakarta; Muhamad Agus Salim, mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di universitas yang sama; Risnawati Utami, seorang penyandang disabilitas fisik; Rusin, pelaku usaha mikro dengan warung di Kabupaten Bekasi; serta Warsiti, seorang perempuan yang bekerja sebagai tukang ojek daring Grab. Selain itu, Yayasan Indonesian Mental Health Association, sebuah organisasi yang mewakili penyandang disabilitas psikososial, juga turut menjadi pemohon. Mereka adalah kelompok yang terdampak langsung oleh kebijakan tarif PPN, yang menyebabkan berkurangnya akses terhadap berbagai hak dan layanan yang seharusnya mereka peroleh.
Afif Abdul Qoyim kuasa hukum Para Pemohon yang tergabung dalam TIM ADVOKASI UNTUK DEMOKRASI SEKTOR KEADILAN PAJAK (TAUD-SKP) dan pengacara publik YLBHI menyatakan pengajuan permohonan Uji Materiil UU HPP ke Mahkamah Konstitusi karena regulasi kenaikan PPN 12% masih tetap berlaku meski secara faktual Menteri Keuangan Sri Mulyani mengeluarkan Peraturan Menteri terkait rekayasa perhitungan matematis kenaikan PPN 12% yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 2025 sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat (1) UU HPP.
Masih tetap berlakunya PPN 12% dalam UU HPP berpotensi menyulitkan ekonomi masyarakat dan memperberat daya beli masyarakat. Hal ini diperparah dengan ketentuan UU HPP yang menghapus jenis jasa yang tidak dikenai PPN, yaitu jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pendidikan, dan jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri sebagaimana diatur dalam pasal pasal 4A ayat (3) UU HPP. Padahal sebelumnya Pasal 4A ayat (3) Huruf a Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, tidak kena PPN atau sering disebut dengan Negative List objek PPN.
Afif menambahkan, dikeluarkannya jasa pelayanan kesehatan medis dari jenis jasa yang tidak dikenai PPN merupakan langkah mundur negara dalam pemenuhan hak atas pelayanan kesehatan yang bertentangan dengan prinsip Progressive Realization (Realisasi Progresif) yang mewajibkan negara untuk secara aktif mengambil kebijakan yang mendukung realisasi pemenuhan hak secara maksimal berdasarkan sumber daya yang dimiliki. Terkait dihapusnya jasa pelayanan pendidikan dari jenis jasa tertentu yang tidak dikenai PPN, kenaikan biaya pendidikan merupakan ancaman nyata sekaligus merupakan sebuah tindakan diskriminatif dan melanggar hak setiap warga negara untuk untuk bebas memilih pendidikan untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan keinginan mereka. Hal inilah yang dialami pemohon dari mahasiswa atas nama Fauzan Hakami dan Muhamad Agus Salim yang saat ini masih menempuh pendidikan di perguruan tinggi yang tidak menutup kemungkinan tidak bisa melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi karena hal tersebut.
Novia Sari Kuasa Hukum Para pemohon yang juga aktivis perempuan menerangkan keberadaan pasal-pasal ini tidak mempertimbangkan kebutuhan spesifik perempuan seperti kebutuhan akan higienitas dan nutrisi wajib ibu hamil. salah satunya dialami pemohon Asmania, perempuan Nelayan Pulau Pari, yang mengalami penurunan pendapatan akibat turunnya hasil tangkapan, dampak dari dari kerusakan lingkungan serta iklim yang disebabkan adanya perampasan ruang hidup oleh investasi atas nama pembangunan. Penerapan kebijakan PPN ini mengharuskannya lebih mengutamakan kebutuhan keluarga dibandingkan kebutuhan spesifiknya sebagai seorang perempuan.
Hal serupa juga disampaikan oleh Nena Hutahaean, Kuasa Hukum Para Pemohon. Ia menyatakan bahwa kebijakan perpajakan saat ini tidak hanya mengabaikan kebutuhan spesifik perempuan, tetapi juga sangat diskriminatif terhadap penyandang disabilitas di Indonesia. Mayoritas penyandang disabilitas tidak memiliki pekerjaan dan upah yang layak. Selain itu, dalam kesehariannya, mereka sudah sangat terbebani dengan extra cost of disability, yaitu biaya tambahan yang muncul untuk memenuhi kebutuhan spesifik mereka sebagai penyandang disabilitas. Biaya-biaya ini tidak dialami oleh individu non-disabilitas dan tidak dapat dikurangi karena berkaitan langsung dengan kelangsungan hidup penyandang disabilitas. Oleh karena itu, kebijakan perpajakan ini tidak hanya gagal mempertimbangkan kondisi sosial-ekonomi masyarakat Indonesia, tetapi juga mengabaikan kerentanan serta beban ganda yang dihadapi oleh perempuan dan penyandang disabilitas.
Judianto Simanjuntak Kuasa Hukum lainnya menyatakan terbitnya dua Peraturan Menteri Keuangan RI tidak menjawab persoalan terkait perpajakan. Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 131 Tahun 2024 mengatur bahwa hanya barang mewah yang dikenakan PPN 12% yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 2025. Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 11 Tahun 2025 tentang Ketentuan Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak dan Besaran Tertentu Pajak Pertambahan Nilai mengatur bahwa nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak. Ketidakpastian hukum atas keberadaan dua Peraturan Menteri Keuangan RI ini adalah karena perubahan Undang-Undang hanya hanya bisa dilakukan melalui Penerbitan Peraturan Pemerintah Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) atau melalui revisi Undang-Undang. Lagi pula dari segi hirarki perundang-undangan, kedudukan UU HPP lebih tinggi dari Peraturan Menteri Keuangan RI tersebut. Dalam hal ini berlaku Asas hukum yang menyatakan “peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi”.
UU HPP memberikan kewenangan yang sangat luas dan diskresi kepada pemerintah untuk mengubah besaran tarif PPN dalam rentang 5 persen hingga 15 persen sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (3) UU HPP, akan tetapi Norma ini tidak disertai dengan indikator substantif yang jelas, seperti pertimbangan ekonomi, sosial, atau lingkungan. Hal ini jelas menimbulkan ketidakpastian hukum bagi Para Pemohon dan masyarakat secara umum karena sewaktu-waktu bisa berubah kapanpun tanpa ada indikator yang terukur dan jelas serta transparan dalam menentukan besaran penerapan nilai PPN. UU HPP ini juga mengatur Perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai diatur dengan Peraturan Pemerintah, pada hal Pasal 23A UUD 1945 menyatakan Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Ketentuan diatur dengan Undang-Undang berarti harus diatur dengan Undang-Undang tersendiri, ujar Judianto Simanjuntak.
Fauzan Hakami sebagai perwakilan Para Pemohon menyampaikan pengaturan kenaikan PPN 12 persen ini sangat memberikan beban berat bagi rakyat, karena akan berdampak pada kenaikan Kenaikan Harga, penurunan daya beli masyarakat, kenaikan biaya pendidikan, dan yang lain. Sementara pengaturan pajak terhadap konglomerat orang super kaya tidak diatur dalam ketentuan di Indonesia. Dengan kondisi ini pengaturan PPN 12% mengakibatkan ketidakadilan hukum di tengah iklim ekonomi Indonesia belum pulih.
Karena itu Fauzan Hakami menyatakan dalam permohonan Uji Materiil ini kami memohon kepada Mahkamah Konstitusi memberikan putusan sebagai berikut:Menyatakan Pasal 4A ayat (2) huruf b dan (3) huruf a, g, j serta Pasal 7 ayat (1), (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan ditunda pemberlakuannya sampai dengan adanya putusan Akhir.
Menyatakan Pasal 4A ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf a, g, j serta Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Menyatakan Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai (conditionally constitutional) sebagai “frasa” tarif pajak pertambahan nilai berdasarkan indikator ekonomi, sosial, atau lingkungan;
Menyatakan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai (conditionally constitutional) sebagai “frasa” Perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai diatur dengan Undang-Undang;
Afif Abdul Qoyim sebagai kuasa hukum Para Pemohon menyatakan dalam sidang pemeriksaan pendahuluan ini, Mahkamah Konstitusi memberikan saran dan masukan kepada Para Pemohon untuk memperbaiki permohonan Uji Materiil UU HPP ini. Mahkamah Konstitusi memberikan waktu untuk menyerahkan perbaikan permohonan melalui Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi selama waktu 14 hari yaitu 24 Maret 2025. _Jakarta, 12 Maret 2025_
TIM ADVOKASI UNTUK DEMOKRASI SEKTOR,KEADILAN PAJAK (TAUD-SKP)
Narahubung:Afif Abdul Qoyim (YLBHI),Judianto Simanjuntak (+62 857-7526-0228),Novia Sari (+62 813-6598-4387)