GabungnyawartawanIndonesia.co.id | Jakarta, 22 September 2025 – Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo akhirnya meresmikan Tim Transformasi Reformasi Polri melalui Sprin/2749/IX/2025 tertanggal 17 September 2025. Tim berisi 52 perwira tinggi dan menengah ini diumumkan sebagai jawaban atas sorotan publik yang semakin tajam terhadap institusi Polri.
Secara struktur, Kapolri bertindak sebagai pelindung, Wakapolri Komjen Dedi Prasetyo sebagai penasihat, sementara kursi ketua dipercayakan kepada Komjen Chryshnanda Dwilaksana. Irjen Herry Rudolf Nahak didapuk sebagai wakil ketua, dan Brigjen Susilo Teguh Raharjo sebagai sekretaris.
Namun, publik masih menyimpan tanda tanya besar: apakah tim ini lahir untuk benar-benar membongkar penyakit lama di tubuh Polri, atau sekadar proyek pencitraan untuk meredam kritik?
Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko dari Divisi Humas Polri menegaskan tim reformasi dibentuk demi akuntabilitas dan sebagai bagian dari Grand Strategy Polri 2025–2045. Tetapi, rakyat sudah terlalu sering disuguhi janji reformasi tanpa perubahan nyata. Kasus pungli, tebang pilih penegakan hukum, serta hedonisme aparat tetap menghantui citra Polri hingga kini.
Presiden Prabowo Subianto bahkan secara langsung menekan Polri untuk melakukan evaluasi total. Presiden melantik Komjen (Purn) Ahmad Dofiri sebagai penasihat khusus bidang keamanan, ketertiban, dan reformasi kepolisian. Lebih jauh, pemerintah sedang menyiapkan Komite Reformasi Kepolisian sebagai mekanisme pengawasan eksternal.
Tekanan dari Presiden ini menunjukkan sinyal kuat: kepercayaan publik pada Polri berada di titik rawan. Jika reformasi kali ini kembali gagal, bukan hanya reputasi Polri yang runtuh, melainkan juga kredibilitas pemerintah yang ikut tercoreng.
Ketua Fast Respon Indonesia Center (FRIC) DPW Jambi, Dodi Chandra, menyatakan:
“Cinta pada institusi kepolisian bukan berarti membiarkan penyakit lama terus berulang. Polri harus menunjukkan keberanian untuk berubah, bukan sekadar mengulang jargon Presisi.”
Kini, bola panas ada di tangan Kapolri dan tim reformasi. Apakah mereka berani menyingkap tabir gelap, membongkar praktik menyimpang, dan memotong budaya impunitas? Atau semua ini hanya akan jadi dokumen indah tanpa nyawa yang berakhir di laci meja pejabat?
Publik menunggu, dengan mata tajam yang tak lagi bisa dibutakan. (Fahmi Hendri)
Redaksi: GabungnyawartawanIndonesia.co.id