Jakarta, gabungnyawartawanindonesia.co.id., —Dalam rangka memperingati Dirgahayu HUT TNI ke-80 Tahun, sejumlah tokoh nasional, akademisi, dan praktisi hukum berkumpul dalam Serasehan dan Forum Diskusi Interaktif Kebangsaan bertajuk “Penjaga Kedaulatan Negara dan Bedah Kasus Polemik Kemiskinan, Kelas Menengah, dan Solusi Keterpurukan Bangsa Menuju Indonesia Emas 2045”.Kegiatan yang digelar di Gedung Joang 45, Cikini, Jakarta Pusat, pada Selasa (7/10/2025) ini diinisiasi oleh Dr. Bernard BBBBI Siagian, S.H., M.Akp, Ketua DPP GAKORPAN, bersama Dr. Kristian Manullang, S.H., M.H., Dr. Agip Supendi, S.H., M.H., Rusman Pinem, S.Sos, dan Bunda Tiur Simamora, tokoh perempuan inspiratif dari LMNRRI & KPPRI.

Scroll Untuk Lanjut Membaca
Serasehan Kebangsaan HUT TNI ke-80 di Gedung Joang 45: Bedah Fenomena Dugaan Kelas Menengah Hingga Elite

Turut hadir pula H. Nurdin Aliandi, Ketua Umum DPN BAKRI, Drs. Ev. Johan Tampubolon, S.E., M.M., Ketua Umum DPP Sarjana Pancasila, Dr. Moses Waimuri, S.H., M.Th. dari Aliansi Papua Bersatu NKRI, serta tokoh nasional PPWI dan LBH Pers Prima Presisi Polri. Seluruh peserta sepakat, forum ini bukan sekadar diskusi seremonial, tetapi menjadi pijakan moral dan intelektual untuk meneguhkan Pilar Demokrasi Pancasila serta memperkuat nilai bela negara di tengah tantangan ekonomi global.

Diskusi yang dipandu secara interaktif ini membedah fenomena sosial-ekonomi yang kini menjadi perhatian serius kemiskinan struktural dan posisi kelas menengah Indonesia dalam konteks pencapaian ASTA CITA menuju Indonesia Emas 2045.

Dalam pemaparannya, Bunda Tiur Simamora mengutip satu kalimat reflektif yang menyentuh hati peserta forum:

“Kelas menengah itu label yang sering kita dengar, tapi apa artinya sebenarnya? Kalau kamu bisa makan enak dan nongkrong santai, tapi masih mikir dua kali buat liburan mewah, kemungkinan besar kamu bagian dari kelas menengah itu.”ujarnya

Pernyataan tersebut disambut gelak tawa ringan para peserta, namun sekaligus mengandung makna mendalam. Ia menyoroti bahwa kelas menengah Indonesia adalah motor ekonomi nasional, tetapi juga kelompok paling rentan bila kebijakan ekonomi tidak berpihak.

Sementara itu, Dr. Kristian Manullang, S.H., M.H., praktisi hukum, menimpali dengan nada kritis:

“Jangan buru-buru merasa kita kelas menengah hanya karena bisa traktir teman waktu gajian. Definisinya lebih kompleks ini soal daya tahan ekonomi, bukan sekadar gaya hidup.”Ungkapnya

Dalam kesempatan itu, Dr. Agip Supendi, S.H., M.H., praktisi hukum dan pemerhati kebijakan publik, mengungkapkan keprihatinannya terhadap penetapan garis kemiskinan baru oleh pemerintah.

“Pemerintah menetapkan batas pendapatan Rp595 ribu per bulan, atau sekitar Rp20 ribu per hari. Tapi biaya hidup riil masyarakat jauh di atas itu. Secara statistik mungkin tidak miskin, tapi secara sosial-ekonomi, banyak rakyat sudah megap-megap,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa indikator kemiskinan tidak boleh hanya dilihat dari angka nominal, tetapi juga dari daya beli, akses pendidikan, kesehatan, dan kesempatan berusaha.

Rusman Pinem, S.Sos., aktivis sosial dan pemerhati ekonomi rakyat, mengajak peserta forum memahami secara lebih objektif posisi keuangan masyarakat.

“Kalau pengeluaranmu sekitar Rp1,2 juta sampai Rp6 juta per bulan per orang, kamu masuk kategori kelas menengah. Tapi kalau di bawah itu, Rp532 ribu sampai Rp1,2 juta, kamu baru calon kelas menengah. Sedangkan Rp354 ribu sampai Rp532 ribu itu kelas rentan,” paparnya.

Data ini memperjelas stratifikasi sosial baru di Indonesia yang perlu mendapat perhatian kebijakan negara. Sebab, kelompok aspiring middle class inilah yang sebenarnya sedang berjuang naik kelas — kelompok yang jika diberdayakan, bisa menjadi kekuatan ekonomi bangsa.

Bunda Tri Haryati, Ketua Klinik Listrik Totok Bekam Gakorpan, menambahkan dimensi sosial dari perjuangan ini.

“Tenang, nggak ada yang salah kok. Semua orang mulai dari nol. Iklim usaha harus kita bangun lewat koperasi Merah Putih dan kewirausahaan rakyat dari bawah dulu,” katanya bersemangat

Dalam sesi penutup, Dr. Bernard BBBBI Siagian mengemukakan gagasan kuat bahwa kelas menengah bukan sekadar kategori ekonomi, melainkan pilar strategis pembangunan nasional.

“Kenapa kelas menengah itu penting? Karena mereka adalah penggerak utama roda ekonomi Indonesia. 81,49% konsumsi nasional disumbangkan oleh kelompok ini,” tegasnya.

Menurutnya, keberhasilan Indonesia menjadi Macan Asia pada 2045 tidak akan datang dari konglomerasi besar atau elite politik, tetapi dari daya tahan, kreativitas, dan semangat kerja keras kelas menengah para pekerja, pedagang, guru, UMKM, dan wirausaha yang menopang struktur ekonomi dari bawah.

“Kelas menengah itulah benteng ekonomi dan moral bangsa. Mereka bukan hanya konsumen, tapi produsen nilai. Mereka menstimulasi daya saing, menumbuhkan gairah usaha, dan menjaga stabilitas sosial,” tutup Dr. Bernard

Forum Serasehan Kebangsaan ini ditutup dengan seruan bersama dari para tokoh untuk memperkuat Asta Cita delapan arah kebijakan pembangunan nasional yang menjadi fondasi menuju Indonesia Emas 2045.

“Semoga semangat kebangsaan, bela negara, dan gotong royong menjadi pijakan bersama untuk bangkit dari kemiskinan dan kesenjangan sosial,” ujar Dr. Moses Waimuri, tokoh Papua yang menegaskan pentingnya persatuan nasional di tengah pluralitas.

( Dr Bernard/Tim ).

Reporter: Yunus Bond