Sambas,gabungnyawartawanindonesia.co.id-Kalbar — Polemik antara Gubernur dan Wakil Gubernur Kalimantan Barat yang belakangan mencuat ke publik, mendapat sorotan tajam dari Irwan Sudianto, Sekretaris LP-KPK Komisi Cabang Kabupaten Sambas.

Scroll Untuk Lanjut Membaca
Sekretaris LP-KPK Sambas Soroti Polemik Wakil Gubernur: “Akar Masalah Ada pada Aturan Pilkada dan Pendelegasian Kewenangan”

Menurutnya, persoalan tersebut tidak bisa dilepaskan dari sejumlah ketentuan dalam Undang-Undang Pilkada serta mekanisme pembagian kewenangan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Irwan menjelaskan, dinamika yang terjadi merupakan konsekuensi dari penerapan UU Nomor 10/2016 sebagai perubahan atas UU Nomor 1/2015, serta penyesuaian melalui UU Nomor 6/2020 yang diterbitkan selama masa pandemi Covid-19. Selain itu, seluruh mekanisme tugas pemerintahan daerah juga mengacu pada UU Nomor 23/2014.

“Polemik yang disampaikan Wakil Gubernur Krisantus Kurniawan tidak bisa diabaikan. Ini adalah dampak dari regulasi Pilkada dan desain kewenangan kepala daerah yang diatur dalam undang-undang,” jelas Irwan, Jumat (6/12/2025).

Irwan menyoroti bahwa parliamentary threshold sebesar 20 persen kursi DPRD untuk mengusung pasangan calon kepala daerah menyebabkan setiap partai politik harus berkoalisi jika tidak memenuhi batas tersebut. Bahkan partai besar sekalipun tidak dapat berjalan sendiri.

Ia mencontohkan, pada Pilkada Kalbar yang lalu, pasangan Ria Norsan – Krisantus Kurniawan diusung oleh koalisi PDI-P, Hanura, dan PPP. Secara komposisi, PDI-P memiliki kursi terbanyak dengan 13 kursi, disusul Hanura 4 kursi, dan PPP 2 kursi.

“Dalam posisi koalisi, semua setara di atas kertas. Tetapi secara faktual, PDI-P memiliki dukungan terbesar. Namun calon gubernur justru bukan berasal dari kader partai pengusung terbesar,” jelas Irwan.

Menurutnya, kondisi inilah yang sering memunculkan ketimpangan ekspektasi antara partai pengusung dan hasil akhir pembagian peran di pemerintahan.

Setelah pasangan terpilih dan dilantik, masalah baru muncul. Berdasarkan UU 23/2014, sebagian besar kewenangan eksekutif berada di tangan kepala daerah, sementara wakil kepala daerah hanya berperan sebagai pembantu yang menjalankan tugas-tugas delegatif.

“Wakil kepala daerah di banyak provinsi maupun kabupaten/kota sering merasa tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, dan hal ini bukan kasus baru. Sistemnya sudah seperti itu,” ujarnya.

Irwan menilai, para pembuat undang-undang mungkin tidak membayangkan dampak disharmoni yang muncul pasca pilkada. Fokus aturan lebih banyak pada keberlanjutan pemerintahan apabila kepala daerah berhalangan tetap, bukan pada keseimbangan peran keduanya.

Untuk mencegah polemik serupa terulang, Irwan menyarankan dibuatnya Peraturan Kepala Daerah (Peraturan Gubernur, Bupati, atau Wali Kota) yang mengatur secara rinci pendelegasian kewenangan antara kepala daerah dan wakilnya.

“Agar jelas siapa berbuat apa dan siapa bertanggung jawab terhadap apa. Kalau sejak awal ada peraturan yang mengatur pendelegasian wewenang, saya yakin polemik seperti yang diungkap Wakil Gubernur tidak akan terjadi,” tegasnya.

Irwan mengingatkan, tanpa aturan teknis seperti itu, alur birokrasi justru menjadi lebih panjang. Warga dan birokrasi harus melewati banyak tahapan sebelum persoalan sampai ke kepala daerah.

“Harusnya sistem memperpendek rantai birokrasi, bukan memperpanjang. Kita butuh pelayanan publik yang cepat dan akuntabel,” pungkasnya.

 

Pewarta : Rinto Andreas

Reporter: GWI Kalbar Perwakilan GWI Kalbar