Scroll Untuk Lanjut Membaca
PERINGATAN KERAS PARA OKNUM: Berhenti Bungkam Pers dengan Dalih Legalitas: Organisasi Jurnalis Kecam Keras Aparat Dan Pemerintah Gagal Paham UU Pers

JAKARTA ll gabungnyawartawanindonesia.co.id ll
3/11/2025. Organisasi jurnalis di Indonesia melancarkan kecaman keras terhadap praktik-praktik instansi pemerintah dan oknum aparat penegak hukum yang berulang kali menggunakan dalih legalitas palsu—seperti tuntutan wajib terdaftar di Dewan Pers dan wajib UKW—untuk membatasi ruang gerak dan bahkan mengintimidasi jurnalis. Praktik ini dinilai sebagai manipulasi hukum yang berbahaya dan serangan langsung terhadap kemerdekaan pers.

Hermanius Borunaung, Ketua Umum Perkumpulan Pimpinan Redaksi Indonesia Maju (PRIMA), menegaskan bahwa pola-pola pembatasan ini bertentangan dengan semangat reformasi pers yang telah dijamin Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers).

“Kami mengecam keras pola-pola usang yang dilakukan pemerintah atau oknum tertentu yang selalu membatasi kerja jurnalis dengan alasan harus terdaftar di Dewan Pers atau wajib UKW,” tegas Hermanius. “Ini adalah praktik yang melanggar UU Pers dan merupakan artefak pikiran otoriter yang harus dibuang jauh-jauh! Legalitas media adalah badan hukum yang sah di Kemenkumham, bukan cap pendaftaran dari Dewan Pers.”

Kekeliruan fatal ini disinyalir sebagai upaya sistematis untuk membungkam kritik. Ali Sopyan, Wakil Ketua Umum IWO Indonesia, menambahkan bahwa aparat di lapangan telah gagal paham secara struktural mengenai UU Pers.

“UU ini secara eksplisit menghapus sistem perizinan. Selama jurnalis bekerja untuk perusahaan pers yang berbadan hukum sah dan namanya tercantum di boks redaksi, ia adalah jurnalis yang sah. Dewan Pers memiliki fungsi pengembangan profesionalisme, bukan lembaga pendaftar wajib,” ujar Ali Sopyan.

Penggunaan dalih legalitas yang keliru ini sering menjadi pintu masuk bagi pembatasan akses liputan hingga kriminalisasi jurnalis yang memberitakan isu korupsi, konflik agraria, atau pelanggaran HAM yang sensitif.

Tuntutan legalitas yang salah ini diperparah dengan lemahnya penegakan hukum dalam kasus kekerasan terhadap jurnalis. Jhon, Sekretaris Jenderal PRIMA, menyoroti bagaimana UU Pers seolah mandul dan tumpul ketika berhadapan dengan kekuasaan.

“Bagaimana mungkin aparat penegak hukum, yang wajib memahami UU Pers sebagai hukum khusus (lex specialis), justru menjadi pelaku intimidasi? Ketika jurnalis menjadi korban kekerasan, terutama oleh oknum aparat, proses hukum sering berjalan lambat dan berujung impunitas,” kritik Jhon.

Menurutnya, hal ini menunjukkan adanya konflik kepentingan institusional di mana perlindungan citra korps lebih diutamakan daripada penegakan keadilan bagi korban kekerasan.

Menutup seruan ini, Eric, Ketua II Perkumpulan Pimpinan Redaksi Indonesia Maju (PRIMA), menyerukan perlawanan tegas terhadap semua bentuk intimidasi.

“Jurnalistik jangan pernah ragu untuk memberitakan sesuai hal yang jelas dan nyata. Lawan semua bentuk pembungkaman oleh kelompok tertentu. Jurnalis memiliki tugas moral dan hukum untuk mencari kebenaran, dan tugas itu tidak boleh dihalangi oleh dalih legalitas yang keliru atau intimidasi kekuasaan,” seru Eric.

Organisasi-organisasi pers mendesak seluruh pimpinan lembaga penegak hukum untuk memastikan jajarannya memahami, menghormati, dan mematuhi Pasal 18 UU Pers yang mengancam hukuman pidana bagi siapa pun yang menghalangi kerja pers, serta menghentikan praktik kriminalisasi melalui jalur pidana umum.

(RedaksiTim)

Reporter: Jurnalis GWI