Semarang |gabungnyawartawanindonesia.co.id.- Peringatan HUT ke-80 kemerdekaan republik indonesia di halaman Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Tengah, berlangsung dengan nuansa berbeda. Bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan sebuah panggung keteladanan ketika para pejabat tinggi/utama kejaksaan turun langsung menjadi petugas upacara.
Suasana pagi yang cerah itu begitu khidmat, seolah memberi ruang sakral bagi upacara yang tak biasa. Dari inspektur hingga barisan pengibar bendera, semua diisi oleh jajaran pejabat utama Kejati Jateng.
Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jawa Tengah, Dr. Hendro Dewanto, tampil gagah memimpin sebagai Inspektur Upacara, memberi pesan kuat bahwa kemerdekaan adalah tanggung jawab yang harus dipikul langsung oleh setiap pemimpin.
Sementara Kolonel Laut (KH) Muhammad Yunus, SH, Asisten Pidana Militer (Aspidmil), menjadi perwira upacara. Barisan komando dipimpin Dr. Lukas Alexander Sinuraya, SH, MH, Asisten Pidana Khusus (Aspidus). Sedangkan Freddy D. Simanjuntak, SH,MH membacakan pembukaan UUD 1945. Bahkan, pembawa acara adalah Dr. Setyowati, SH, MH, Asisten Perdata dan Tata Usaha Negara (Asdatun).
Panggung paling mencuri perhatian justru datang dari Aspidsus Lukas Alexander, yang berdiri sebagai Komandan Upacara. Dengan langkah tegas dan suara lantang, ia memimpin barisan seolah sedang memimpin sebuah pasukan di medan laga.
Biasanya, nama Lukas akrab terdengar di ruang penyidikan kasus-kasus besar yang penuh tekanan. Namun pagi itu, ia menunjukkan sisi lain, kepemimpinan yang bukan hanya soal strategi hukum, melainkan juga ketegasan disiplin dan komando.
Pesan provokatif pun terucap lewat tindakannya, jika para penegak hukum mampu berbaris rapi untuk Merah Putih, maka mereka juga wajib berbaris tegak melawan korupsi dan ketidakadilan.
Sorot matanya, cara memberi komando, hingga wibawanya di hadapan barisan, menyulut semangat para peserta. Seakan hendak menegaskan bahwa jaksa bukan hanya aparatur penegak hukum, melainkan juga prajurit bangsa yang setia menjaga kedaulatan dan kehormatan negara.
Sakral, Menggugah, dan Penuh Simbol
Momen-momen berikutnya berjalan penuh makna. Adalah Asintel Freddy Simanjuntak, membacakan Pembukaan UUD 1945 dengan lantang, menggema hingga sudut halaman. Adapun Aswas Gatot Guno Sembodo, mengucapkan Tri Krama Adhyaksa, janji moral kejaksaan yang berakar pada keberanian dan integritas.
Sementara Kabag TU Deddy Agus Oktavianto, membacakan Trapsila Adhyaksa Berakhlak, yang menyatukan seluruh peserta dalam keheningan penuh khidmat.
Puncak emosi pecah saat Sang Saka Merah Putih dikibarkan. Tiga petugas pengibar bendera Satriyo Wibowo, SH, MH, Sandhy Handika, SH, MH, dan Ashari Kurniawan, SH, MHLi melangkah pasti membawa bendera ke tiang.
Semua kepala menengadah, mengikuti Merah Putih yang perlahan naik, diiringi gema “Indonesia Raya”. Di detik itu, seolah sejarah kembali berbisik, bahwa kemerdekaan bukan hadiah, melainkan hasil darah dan air mata yang wajib dijaga.
Keterlibatan pejabat tinggi sebagai petugas upacara bukan hal lazim. Namun justru di sinilah letak kekuatannya.
Tidak ada sekat jabatan, tidak ada ruang nyaman di kursi undangan. Mereka memilih berdiri, berbaris, dan melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab.
Kajati Hendro mengatakan, upacara hari ini adalah teladan yang hidup dan menunjukkan bahwa keteladanan itu tidak bisa hanya lahir dari instruksi, tetapi dari tindakan nyata.
Seorang pemimpin tidak boleh bersembunyi di balik jabatannya, ia harus berani berdiri di barisan depan, mengibarkan bendera, membaca naskah, bahkan memimpin doa, itulah makna kepemimpinan sejati.
Menurutnya, Integritas adalah ketika ucapan dan perbuatan menyatu dalam satu kata. Upacara ini adalah refleksi, bahwa pejabat negara harus hadir tidak hanya dengan kebijakan, tetapi juga dengan keteladanan.
“ Jawa Tengah itu punya tagline Jaksa Guyub dan guyub itu harus dimulai dari pemimpin. Seorang leader harus berani memberi contoh kepada anak buahnya. Kami ingin memberi teladan bahwa kemerdekaan adalah amanat, dan semua pejabat punya kewajiban moral untuk menegakkannya,” tegas Hendro Dewanto usai upacara.
Pesan itu nyata. Di tengah sorot mata jaksa muda dan pegawai kejaksaan, para pimpinan menunjukkan bahwa teladan bukan lahir dari instruksi, tetapi dari keberanian untuk turun langsung.
Sebuah simbol kebersamaan, sekaligus pengingat bahwa semangat kemerdekaan harus selalu diperbarui, tidak peduli berapa pun usia bangsa ini.
Upacara di Kejati Jateng ini akhirnya menjadi cermin nasionalisme yang hidup—bukan slogan, bukan formalitas. Ia hadir dalam bentuk sikap, disiplin, ketegasan, dan kesediaan pejabat untuk memberi contoh nyata.
Aspidsus Kejati Jateng Dr. Lukas Alexander mengatakan, sesuai perintah dan arahan Kajati, bahwa kita memang sebagai senior pun harus bisa mengayomi, menjiwai, jiwa nasionalisme dan rasa kemerdekaan itu sendiri.
Pagi itu, halaman Kejati Jateng berubah menjadi ruang refleksi, bahwa merdeka bukan sekadar peringatan tanggal, melainkan tanggung jawab bersama untuk terus menjaga nilai-nilai kejujuran, keberanian, dan pengabdian.
Dari Semarang, pesan kuat dikibarkan bersama Sang Saka, Indonesia butuh teladan, dan pejabat negara harus berdiri di barisan depan.
(Red)