Pontianak |gabungnyawartawanindinesia.co.id.- Pada tanggal 14 juli 2025, polemik status pulau pengikik. Yang kini diklaim masuk wilayah kepulauan riau (kepri), kembali menuai sorotan tajam. Tak tanggung tanggung, kali ini masalah tersebut mendapat sorotan langsung dari DPP LSM MAUNG. Dalam pernyataan resminya, Ketua Umum DPP LSM MAUNG menyampaikan apresiasi tinggi sekaligus sikap kritis terhadap lambannya langkah Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat (Pemprov Kalbar) dalam memperjuangkan pulau strategis tersebut.
> “Kami, DPP LSM MAUNG memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada Sultan Syarif Melvin AlKadrie, S.H., Anggota DPD RI, atas keberanian beliau bersuara lantang menolak penggunaan dokumen kolonial sebagai dasar penetapan batas wilayah Pulau Pengikik. Pernyataan beliau berbobot, konstitusional, dan berpihak pada kepentingan rakyat Kalimantan Barat,” ujar Hadysa Prana, Ketua Umum DPP LSM MAUNG,
Namun demikian, DPP LSM MAUNG menilai masih ada tanda tanya besar terhadap sikap Pemprov Kalbar.
> “Kami masih mempertanyakan pernyataan Gubernur Kalbar beberapa hari lalu. Pak Gubernur, jika Kalbar memiliki dokumen sejarah dan dasar hukum yang kuat soal Pulau Pengikik, apa alasan Pemprov terlihat lamban bergerak hingga Kepri berani mendaftarkan pulau itu ke administrasi wilayahnya? Apakah ada tekanan politik atau kompromi tertentu yang membuat Kalbar terkesan ragu memperjuangkan hak wilayahnya sendiri?” tegas Ketua umum
Menanggapi kritik tersebut, Gubernur Kalbar Ria Norsan mengakui Pemprov sedang menyiapkan dokumen-dokumen pendukung klaim Kalbar atas Pulau Pengikik.
> “Kita tidak bisa asal klaim. Data kita harus valid dan kuat. Kami sedang melengkapi dokumen sejarah agar kalau maju, kita menang, bukan malah kalah,” ujar Norsan.
Norsan menambahkan, data yang kini tengah dikumpulkan mencakup arsip kolonial Belanda, surat-surat kerajaan, bukti kepemilikan tanah, serta peta historis yang menunjukkan Pulau Pengikik pernah berada dalam wilayah Kecamatan Sungai Kunyit, Kabupaten Mempawah, sebelum pemekaran wilayah.
Aspek Hukum: Dokumen Kolonial Tidak Sah
Menurut Andri Mayudi Ketua DPD LSM MAUNG Kalbar menyampaikan kepada DPP MAUNG Pusat, persoalan Pulau Pengikik bukan sekadar peta atau geografi, tetapi menyangkut prinsip legalitas dalam kerangka hukum nasional. Dokumen kolonial seperti Contract met den Sulthan van Lingga 1857 dinilai tidak memiliki kekuatan hukum dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
> “Sejak Bakosurtanal berdiri pada 17 Oktober 1969 — yang kemudian berubah menjadi Badan Informasi Geospasial (BIG) melalui Perpres Nomor 94 Tahun 2011 — hanya peta resmi negara yang sah menjadi acuan penegasan batas wilayah. Bukan kontrak kolonial yang sarat kepentingan penjajahan,” tegas Ketua LSM MAUNG Kalbar.
LSM MAUNG yang tersebar hampir di seluruh wilayah indonesia ini juga menilai Perda Kabupaten Bintan Nomor 19 Tahun 2007, yang dijadikan dasar klaim Kepri, berpotensi cacat hukum karena:
Tidak merujuk pada peta resmi BIG.
Menggunakan istilah geografis tanpa kejelasan yuridis.
Melampaui kewenangan perda kabupaten dalam menetapkan batas antarprovinsi.
Bertentangan dengan prinsip hierarki perundang-undangan nasional.
LSM MAUNG Kalbar menekankan bahwa Pulau Pengikik memiliki nilai strategis bukan hanya dari segi geografis, tetapi juga sebagai bagian sejarah Kesultanan Pontianak. Pulau ini menjadi jalur penting perdagangan Melayu sejak abad ke-18 dan erat terkait dengan identitas masyarakat pesisir Kalbar.
> “Kehilangan Pulau Pengikik bukan hanya persoalan hilangnya sepetak tanah, tetapi hilangnya martabat sejarah, budaya, dan identitas rakyat Kalbar,” ungkap Ketua LSM MAUNG Kalbar
DPP LSM MAUNG mengingatkan, polemik Pulau Pengikik kini juga menjadi medan pertempuran narasi di ruang digital.
> “Ini bukan zaman kolonial. Kita hidup di era digital, di mana propaganda bisa mengaburkan kebenaran. Kalbar harus punya strategi manajemen informasi yang kuat agar sejarah, bukti hukum, dan identitas kita tidak dikalahkan oleh narasi sepihak,” tegas Ketum
Dalam sikap resminya, LSM MAUNG Kalbar mendesak Pemprov Kalbar segera:
1. Mengajukan klarifikasi hukum ke Kemendagri dan mempertimbangkan judicial review terhadap Perda Kabupaten Bintan Nomor 19 Tahun 2007.
2. Membentuk Tim Kajian Sejarah, Hukum, dan Geospasial yang melibatkan Kesultanan Pontianak, akademisi, BIG, serta masyarakat adat.
3. Menyusun strategi komunikasi publik untuk menjaga narasi kedaulatan Kalbar di tingkat nasional.
4. Memastikan Pulau Pengikik tetap tercatat sebagai wilayah Kalimantan Barat berdasarkan hukum nasional dan fakta sejarah.
> “Kalbar tidak boleh hanya berhenti pada retorika. Kita harus bergerak cepat, cerdas, dan berbasis hukum. Pulau Pengikik adalah soal harga diri bangsa, bukan sekadar persoalan peta,” pungkas Ketua LSM MAUNG Kalbar.
Pulau Pengikik kini menjadi simbol krusial: Akankah hukum nasional dan keadilan sosial ditegakkan, atau dikalahkan oleh kepentingan politik sempit? Bagi LSM MAUNG Kalbar, perjuangan ini masih jauh dari selesai.
(Red/Penulis : Tim LSM MAUNG/Sumber : DPD LSM Kal-Bar)