Gabungnyawartawanindonesia.co.id. MALUKU – Aktivitas PT Trimegah Bangun Persada (TBP), anak perusahaan Harita Group, yang masih berjalan di atas lahan sengketa, menjadi tamparan keras bagi wibawa hukum di negeri ini.

Scroll Untuk Lanjut Membaca
LSM KANE Malut Jika Hakim Bungkam, Maka Rakyat Sendiri Yang akan Berikan Keadilan.

Sengketa hukum antara keluarga La Awa sebagai penggugat melawan PT. TBP yang tengah diperiksa di Pengadilan Negeri (PN) Labuha justru terasa hambar, karena perusahaan seolah menertawakan proses peradilan dengan tetap beroperasi tanpa henti.

Ketua LSM KANE Malut, Risal, menyatakan bahwa kondisi ini adalah bukti nyata lemahnya keberanian PN Labuha dalam menegakkan hukum.

“Apa gunanya persidangan jika perusahaan tetap berjalan seperti tidak terjadi apa-apa? Rakyat melihat, hukum sedang dipermainkan di depan mata,” tegasnya.

LSM KANE Malut Jika Hakim Bungkam, Maka Rakyat Sendiri Yang akan Berikan Keadilan.

PN Labuha disebut gagal menunjukkan ketegasan, padahal hakim mengemban sumpah jabatan dan terikat pada kode etik yang seharusnya menjaga martabat lembaga peradilan.

“Jika PN Labuha hanya menjadi stempel formalitas, maka rakyat akan kehilangan kepercayaan. Lebih baik akui saja kalau pengadilan kalah oleh uang dan kekuasaan korporasi,” sambung Risal.

LSM KANE Malut menilai perkara wanprestasi ini merupakan ujian besar bagi integritas hakim di PN Labuha.

Fakta-fakta hukum yang dihadirkan dalam persidangan seharusnya menjadi pijakan kuat, bukan sekadar catatan yang diabaikan demi kepentingan modal.

“Keberanian moral hakim kini benar-benar diuji. Putusan yang keliru hanya akan mempertegas bahwa hukum bisa dibeli,” ujar Risal.

Kritik tajam juga diarahkan kepada Harita Group yang dianggap sengaja menantang proses hukum dengan tetap melakukan aktivitas kerja di lahan yang jelas-jelas sedang disengketakan.

“Ini bentuk pelecehan terhadap pengadilan. Harita Group seakan mengatakan bahwa mereka kebal hukum. Sikap seperti ini sangat berbahaya bagi masa depan penegakan hukum di negeri ini,” kecam Risal.

Ia menambahkan, perusahaan multinasional yang besar seharusnya memberi contoh ketaatan hukum, bukan justru mengangkangi aturan demi kepentingan bisnis.

Menurutnya, ketika korporasi dibiarkan semena-mena, rakyat kecillah yang akan selalu menjadi korban.

“Kita harus jujur, jika perusahaan besar bisa seenaknya melanggar aturan, maka rakyat akan bertanya, hukum ini milik siapa? Untuk rakyat atau untuk penguasa modal?” ujarnya dengan nada keras.

Dalam sehari dua, LSM KANE Malut memastikan akan kembali menggelar aksi dengan massa yang lebih besar. Aksi tersebut akan menyasar PN Labuha dan kantor Harita Group secara bersamaan.

“Kami akan kepung PN Labuha dan kantor Harita Group, bukan hanya dengan suara, tetapi juga dengan tekad yang jelas: hentikan aktivitas ilegal di lahan sengketa,” tegas Risal.

Bentuk aksi juga akan diperluas dengan mogok makan di depan PN Labuha sebagai simbol bahwa keadilan rakyat sedang dipasung dan dibiarkan kelaparan oleh aparat hukum.

“Kami rela menanggung risiko apapun. Mogok makan adalah pilihan terakhir untuk menunjukkan bahwa kami lebih memilih lapar daripada melihat hukum diinjak-injak,” tambahnya.

LSM KANE Malut menilai, pengadilan saat ini seakan membiarkan perusahaan tetap beraktivitas, padahal jelas-jelas menimbulkan konflik sosial di masyarakat.

“Kalau aktivitas tambang ini dibiarkan, konflik horizontal bisa terjadi. Pengadilan akan menanggung dosa sejarah karena tidak berani bersikap,” papar Risal.

Ia menegaskan kembali bahwa tuntutan rakyat sederhana, hentikan semua aktivitas perusahaan di lahan sengketa sampai ada putusan hukum yang berkekuatan tetap.

“Apakah tuntutan ini sulit dipahami? Tidak! Tapi ketika kepentingan modal lebih kuat dari suara rakyat, maka semuanya jadi rumit,” cetusnya.

PN Labuha diminta segera mengambil langkah tegas dengan mengeluarkan perintah penghentian sementara aktivitas PT. TBP sampai sidang selesai.

“Kalau hakim diam, maka publik berhak menilai PN Labuha ikut melindungi perusahaan. Itu sama saja dengan mengkhianati sumpah jabatan,” tegas Risal.

Ia mengingatkan, keadilan bukan hanya perkara hitam putih dalam dokumen, melainkan soal keberanian moral untuk berpihak pada kebenaran.

“Hakim adalah benteng terakhir rakyat. Jika benteng itu runtuh, jangan salahkan rakyat jika mengambil langkah di jalanan,” katanya.

LSM KANE Malut menilai, aksi yang mereka lakukan bukanlah sekadar protes, melainkan panggilan nurani untuk menjaga marwah hukum di Maluku Utara.

“Keadilan bukan hadiah, ia harus diperjuangkan. Dan perjuangan ini tidak akan berhenti hanya karena perusahaan besar mencoba menekan rakyat kecil,” ujar Risal.

Ia juga meminta dukungan dari masyarakat luas agar tidak tinggal diam melihat ketidakadilan yang terus terjadi.

“Diam berarti ikut melanggengkan kezaliman. Kita harus bersuara bersama-sama,” tegasnya.

Menurutnya, Harita Group tidak boleh lagi berlindung di balik jargon tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) ketika kenyataannya mereka mengabaikan hukum.

“CSR tidak bisa menutup mata atas pelanggaran hukum. Keadilan tidak bisa dibeli dengan proyek-proyek kecil di desa. Yang rakyat minta hanya satu, hormati hukum,” seru Risal.

Hingga saat ini, sidang wanprestasi masih berlangsung dan putusan PN Labuha masih ditunggu. Namun, kesabaran rakyat sudah di ujung tanduk.

“Jika pengadilan gagal memberikan keadilan, maka rakyat sendiri yang akan menjadi hakim di jalanan. Dan ketika itu terjadi, jangan salahkan kami. Kami sudah memberi peringatan,” Tegas Risal, sembari menutup komentar.

(Red)

Reporter: Kepala Biro Cilegon