Sanggau,gabunganwartawanindonesia.co.id — Kalbar.Kasus dugaan pencurian 34 tandan buah segar (TBS) sawit di sebuah desa terpencil Kabupaten Sanggau kembali menjadi sorotan publik setelah sejumlah kejanggalan mencuat dalam proses penyidikan hingga persidangan.

Scroll Untuk Lanjut Membaca
Kejanggalan Proses Hukum Kasus 34 Tandan Sawit di Sanggau: Warga Pertanyakan Objektivitas Penegakan Hukum

Warga menilai perkara ini menunjukkan ketimpangan perlakuan antara masyarakat kecil dan kepentingan perusahaan yang memiliki pengaruh kuat di wilayah tersebut.Selasa 18/11/2025.

Kasus bermula dari lahan sawit tua yang sudah lama tidak dirawat. Tanaman tampak kering dan tandannya kecil, kondisi khas kebun terbengkalai.

Menurut petani setempat, tandan sawit dari kebun tak terurus biasanya hanya berbobot 7–10 kilogram per tandan.

Namun dalam persidangan, seorang saksi bernama Jesse memberikan keterangan bahwa 34 tandan sawit ditimbang mencapai 840 kilogram—atau sekitar 24–25 kilogram per tandan.

Perbedaan hampir 500 kilogram dari estimasi normal tersebut membuat keluarga tersangka keberatan dan menilai ada kejanggalan serius dalam pembuktian.

“Sawit tidak dirawat itu paling tinggi 10 kilo pertandan. Kalau tiba-tiba jadi 24 sampai 25 kilo, itu namanya pembohongan publik,” ujar keluarga tersangka.

Secara agronomis, 34 tandan dari kebun rakyat yang tidak terurus seharusnya lebih dekat ke 340 kilogram, bukan 840 kilogram seperti tertulis dalam BAP.

Dokumen Penahanan Tak Sinkron: “Penahanan Sebelum Penangkapan”

Kejanggalan tidak berhenti pada berat sawit. Dalam berkas persidangan ditemukan fakta:

Surat Perintah Penangkapan tertanggal 1 Oktober 2025.

Surat Perpanjangan Penahanan tertanggal 2–22 Juni 2025.

Artinya, tercatat perpanjangan penahanan terjadi empat bulan sebelum penangkapan dilakukan. Kondisi ini dinilai tidak masuk akal dan bertentangan dengan logika hukum.

Pihak aparat menyebutnya sebagai “kesalahan redaksi”. Namun keluarga tersangka menilai alasan tersebut terlalu ringan untuk kasus yang menyangkut hak kebebasan seseorang.

“Kesalahan tanggal seperti itu bukan hal kecil. Itu merusak legitimasi seluruh proses hukum,” ujar seorang pemerhati hukum lokal.

Keluarga juga mengungkapkan kejanggalan lain terkait status berkas perkara. Aparat disebut menginformasikan bahwa tahap II sudah dinaikkan, yang berarti berkas telah berstatus P21 (lengkap).

Namun anehnya, informasi ini diberikan ketika sidang praperadilan (PRA) masih berlangsung, sehingga menimbulkan pertanyaan mengenai prosedur yang sebenarnya terjadi.

“Kalau tahap 2 sudah dinaikkan, seharusnya praperadilan gugur. Tapi sidang tetap berjalan. Ini semakin membingungkan,” ujar keluarga.

Informasi tersebut bahkan disampaikan langsung polisi kepada istri tersangka, yang membuat keluarga merasa proses hukum tidak dilakukan secara transparan.

Keluarga juga mempertanyakan keterlibatan perusahaan MKS Itaklitra Karya sentosa dan seorang asisten berinisial CJC. Mereka menilai kesaksian yang diberikan dalam sidang terlalu searah dengan kepentingan perusahaan.

“Dasarnya jelas, mereka tidak menghargai gariban (warga lokal),” ungkap salah satu keluarga.

Keluarga mengaku tidak menerima surat penangkapan pada hari kejadian. Surat baru diberikan beberapa hari kemudian, setelah keluarga datang dan sempat terjadi ketegangan di lokasi.

“Kalau kami tidak datang hari itu, tidak tahu kapan surat diberikan,” ujar seorang kerabat.

Jika dihitung berdasarkan kondisi kebun dan harga sawit di pasaran—yakni Rp3.000–3.500/kg—maka 34 tandan sawit hanya bernilai sekitar Rp1 juta. Nilai ini dianggap terlalu kecil untuk dijadikan perkara pidana, terutama pada kasus panen kebun rakyat yang seringkali menjadi sengketa perdata.

“Kasihan polisi juga sebenarnya, karena harus menangani perkara sekecil ini,” ujar tokoh masyarakat.

Kasus ini telah dilaporkan ke Propam Polda Kalimantan Barat, disertai tembusan kepada Kapolri dan Presiden, untuk meminta evaluasi terhadap dugaan penyimpangan prosedur di tingkat kepolisian.

Pengacara Dr. Andres Rafael juga disebut telah mengikuti perkembangan kasus dan memberikan pendampingan hukum kepada keluarga.

Bagi warga desa, perkara ini bukan sekadar urusan 34 tandan sawit, melainkan gambaran nyata bagaimana hukum dijalankan di tingkat bawah.

Masyarakat berharap Pemerintah Pusat menaruh perhatian khusus pada proses peradilan, terutama di PN Sanggau dan wilayah Kalimantan Barat secara umum.

Di tengah angin sore yang menyapu kebun sawit tua, warga kini mulai berani bersuara. Mereka menolak kasus ini hilang begitu saja.

 

Pewarta : Rinto Andreas

Reporter: GWI Kalbar Perwakilan GWI Kalbar