Bogor,gabungnyawartawanindonesia.co.id – Setiap 1 Oktober, kita kembali diingatkan akan Hari Kesaktian Pancasila. Bukan sekadar mengenang sejarah kelam G30S/PKI, tetapi momen krusial untuk menengok ke dalam diri: sejauh mana nilai-nilai Pancasila telah kita internalisasi dan amalkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagai wujud pelaksanaan amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945?
Mudah memang mengagungkan Pancasila dalam pidato dan upacara. Namun, jauh lebih sulit untuk jujur mengakui, seringkali kita justru abai terhadap esensi Pancasila dalam tindakan nyata. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, tercermin dalam kebebasan menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaan masing-masing, yang dilindungi oleh Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Sudahkah kita menghormati perbedaan keyakinan dan menjauhi segala bentuk diskriminasi atas dasar agama, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia? Ingatlah “Sing saha tumindak jujur, bakal nemu bagja” (Jawa: Siapa yang bertindak jujur, akan menemukan kebahagiaan). Nilai filosofisnya adalah bahwa keimanan yang benar akan mendorong kita untuk selalu bertindak jujur dan adil dalam segala hal.
Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, menuntut kita untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat setiap manusia, serta menentang segala bentuk perlakuan tidak manusiawi. Sudahkah kita berupaya mewujudkan keadilan bagi semua, tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, atau politik, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menjamin hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil? Seperti kata pepatah Sunda, “Sacangreud pageuh, sagolek pangkek” (Sunda: Seiya sekata, seia sekebenaran). Nilai filosofisnya adalah pentingnya solidaritas dan kebersamaan dalam memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Sila ketiga, Persatuan Indonesia, menuntut kita untuk mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan. Sudahkah kita berpartisipasi aktif dalam menjaga kerukunan dan persatuan bangsa, serta menolak segala bentuk provokasi yang dapat memecah belah, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, yang menekankan pentingnya kesetiaan terhadap negara dan Pancasila? “Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah” (Jawa: Rukun membuat sentosa, bertikai membuat rusak). Nilai filosofisnya adalah persatuan dan kesatuan adalah kunci untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan bersama.
Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, menuntut kita untuk menghargai proses demokrasi dan musyawarah mufakat dalam pengambilan keputusan. Sudahkah kita menggunakan hak pilih kita secara bertanggung jawab, serta menghormati hasil pemilihan umum sebagai wujud kedaulatan rakyat, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah? Ingatlah “Bulat air oleh pembuluh, bulat kata oleh mufakat” (Indonesia). Nilai filosofisnya adalah pentingnya musyawarah untuk mencapai kesepakatan yang terbaik bagi semua pihak.
Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, menuntut kita untuk berupaya mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, khususnya bagi mereka yang kurang mampu. Sudahkah kita berkontribusi dalam mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi, serta mendukung program-program pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 34 UUD 1945 tentang fakir miskin dan anak-anak terlantar yang dipelihara oleh negara? “Ka cai jadi saleuwi, ka darat jadi salebak” (Sunda: Ke air menjadi satu aliran, ke darat menjadi satu hamparan). Nilai filosofisnya adalah pentingnya gotong royong dan kebersamaan dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hari Kesaktian Pancasila adalah panggilan untuk bercermin. Bukan sekadar merayakan kesaktian Pancasila sebagai ideologi negara, tetapi juga menguji kesaktian Pancasila dalam diri kita masing-masing. Sudahkah Pancasila benar-benar menjiwai setiap pikiran, perkataan, dan perbuatan kita? Jika belum, jangan biarkan keraguan menghantuimu! Saatnya bangkit, kobarkan semangat persatuan, dan jadilah teladan yang menginspirasi bangsa untuk menghidupkan Pancasila dalam setiap sendi kehidupan. Karena, hanya dengan mengamalkan nilai-nilai luhur Pancasila, serta menjunjung tinggi supremasi hukum yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, kita mampu mewujudkan Indonesia yang adil, makmur, berdaulat, dan bermartabat di mata dunia. Tata titi duduga peryoga (Jawa: Tata tertib, cermat dalam bertindak, dan selalu berusaha).
Narasumber: Kefas Hervin Devananda (Romo Kefas)
– Profil Singkat: Kefas Hervin Devananda, yang akrab disapa Romo Kefas, adalah sosok yang memadukan idealisme seorang jurnalis dengan semangat aktivis yang tak pernah padam, serta keteduhan seorang rohaniawan. Sebagai Jurnalis di Pewarna Indonesia, beliau tak hanya piawai dalam merangkai kata, namun juga memiliki kepedulian mendalam terhadap isu-isu sosial yang terjadi di sekitar kita. Sebagai seorang aktivis, Romo Kefas tak pernah lelah menyuarakan keadilan dan kebenaran, serta membela hak-hak mereka yang терpinggirkan. Dan sebagai seorang rohaniawan dari salah satu sinode Gereja di Indonesia, beliau senantiasa menebarkan kedamaian dan kasih sayang, serta menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk hidup lebih baik dan bermakna. Dengan latar belakang yang kaya dan beragam