Lampung |gabungnyawartawanindonesia.co.id.- Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Komite Aksi Masyarakat dan Pemuda untuk Demokrasi (KAMPUD) meminta Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lampung Utara mengevaluasi izin operasional PT. Surya Intan Tapioka (SIT) bertempat di Desa Bumi Agung Marga, Dusun Sepulau yang merupakan perusahaan pengolahan singkong yang beroperasi di Kecamatan Muara Sungkai.
Hal ini disampaikan oleh Ketua Umum DPP KAMPUD, Seno Aji, S.Sos, S.H, M.H lantaran adanya keluhan masyarakat terkait masalah lingkungan yang berdampak pada kesehatan warga setempat.
“Kita meminta Pemkab Lampung Utara untuk mengevaluasi keberadaan PT. Surya Intan Tapioka mulai dari nomor induk berusaha untuk kegiatan beresiko rendah, menengah dan tinggi, kemudian mengevaluasi izin kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang (KKPR), jika perusahaan tersebut melakukan operasionalnya tanpa adanya nomor induk berusaha dan izin KKPR dari pemerintah setempat tentunya dapat dilakukan pemidanaan sebagaimana tercantum dalam UU nomor 11 tahun 2020 tentang cipta kerja pasal 69 menyatakan setiap orang dalam melakukan usaha atau pemanfaatan ruang yang telah ditetapkan tanpa memiliki persetujuan kesesuaian pemanfaatan ruang mengakibatkan perubahan fungsi ruang maka dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 1 Milyar”, kata Seno Aji pada Kamis (28/8/2025).
Sosok aktivis yang dikenal sederhana ini juga mengungkap bahwa dengan adanya penetapan pemanfataan ruag oleh pemerintah, maka setiap daerah terdapat klasifikasi untuk pemanfaatan ruang atau lahan nya.
“Dengan adanya penetapan pemanfataan ruang oleh pemerintah maka pemanfataan ruang tersebut harus dimanfaatan sesuai ketentuan, misalnya kawasan agropolitan ini merupakan kawasan yang ditetapkan untuk pusat kegiatan dalam perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agrobisnis, dengan begitu kegiatan dari PT SIT jika sesuai dengan tata ruang maka tidak akan berdampak pada permukiman warga setempat yang mengarah pada pencemaran lingkungan”, jelas Seno Aji.
Disisi lain, Seno Aji juga menyoroti adanya keluhan pekerja dari perusahaan tersebut yang diupah tidak sesuai dengan standar minum.
“Terkait dengan pengupahan pekerja tentunya sebagai perusahaan sekelas PT harus mengacu dengan UU tentang ketenagakerjaan, dan perlu ditinjau juga apakah para pekerja di perusahaan tersebut didasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu atau tidak waktu tertentu, jika pekerjaan dikerjakan tanpa adanya batas waktu tertentu maka kategori pekerja merupakan pekerja bukan waktu tertentu dan skema pengupahan mengikuti upah minimum Provinsi yang telah ditetapkan yaitu sebesar Rp. 2.893.070,- jika pengupahan lebih rendah maka dinas tenaga kerja setempat harus mengevaluasi perusahaan PT. SIT, karena tidak sesuai dengan pasal 88A ayat (4) menyatakan kesepakatan antara perusahaan dan pekerja tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang telah ditetapkan”, pungkas Seno Aji.
Sebelumnya diinformasikan
Warga Desa Bumi Agung Marga, Dusun Sepulau, yang bermukim di sekitar PT. Surya Intan Tapioka (SIT), perusahaan pengolahan singkong yang beroperasi di Kecamatan Muara Sungkai mengeluhkan terkait dampak lingkungan maupun kesejahteraan pekerja.
Seorang tokoh masyarakat meminta pemerintah Kabupaten Lampung Utara dan DPRD menanggapi serius aspirasi warga.
“Kami minta kepada perusahaan, pemerintah, dan DPRD Kabupaten Lampung Utara menanggapi keluhan warga serta tenaga kerja. Apalagi ini menyangkut masalah lingkungan yang bisa berdampak pada kesehatan masyarakat,” ujarnya.
Ia juga mengimbau masyarakat tidak bertindak sendiri, melainkan menyerahkan persoalan ini kepada pemerintah dan wakil rakyat.
Upah di Bawah UMP
Selain persoalan lingkungan, keluhan juga datang dari para pekerja PT. SIT. Mereka menyebut gaji yang diterima masih berada di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) Lampung tahun 2025 sebesar Rp2.893.070.
“Kami hanya menerima Rp2,4 juta sampai Rp2,6 juta per bulan, itu pun masih dipotong jika ada hari libur,” ungkap salah satu pekerja yang enggan disebutkan namanya.
Buruh harian lepas juga mengeluhkan upah rendah, yakni Rp60 ribu per hari dengan tambahan lembur Rp4 ribu per jam. Kondisi tersebut diperparah dengan belum meratanya kepesertaan pekerja dalam program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) maupun BPJS Ketenagakerjaan.
“Kami tidak berani protes terbuka karena khawatir diberhentikan. Sampai sekarang banyak yang belum terlindungi BPJS Ketenagakerjaan,” tambah pekerja lainnya.
Sorotan Perizinan dan Petani Singkong
Dari sisi lingkungan, masyarakat mempertanyakan legalitas perizinan PT. SIT, khususnya terkait dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) maupun UKL-UPL.
Sementara itu, petani singkong mengeluhkan mekanisme potongan refaksi yang dianggap merugikan karena ditetapkan sepihak. Mereka juga menyoroti kurangnya transparansi dalam sistem penerimaan singkong dari petani umum maupun mitra.
Respons Perusahaan
Upaya media untuk mengonfirmasi pihak manajemen belum membuahkan hasil. Aktivitas pabrik tetap berjalan normal, namun pimpinan perusahaan belum dapat ditemui. Humas PT. SIT, Darwis, menyatakan bahwa urusan teknis terkait upah dan kebijakan perusahaan ditangani oleh kantor pusat di Natar, Lampung Selatan.
“Untuk saat ini pimpinan belum bisa ditemui. Silakan menghubungi kantor pusat,” ujarnya senin 25/8/2025.
Harapan Warga dan Pekerja
Baik pekerja maupun petani berharap pemerintah daerah turun tangan menyelesaikan persoalan ini. Mereka menilai perlindungan tenaga kerja, keadilan bagi petani, serta kepastian izin lingkungan harus menjadi prioritas agar perusahaan dapat berjalan sehat sekaligus memberi manfaat bagi masyarakat sekitar.
(Red)