Jakarta |gabungnyawartawanindonesia.co.id.- Pada hari sabtu 06 september 2025, Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pemeriksaan Perkara Nomor 99/PUU-XXIII/2025 ihwal pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan Dosen), Kamis (4/9/2025), di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan ini diajukan oleh Sri Hartono, seorang guru bersertifikat pendidik, yang mempersoalkan ketentuan batas usia pensiun guru pada usia 60 tahun.
Pada persidangan kali ini, Sri Hartono (Pemohon) menghadirkan Doni Koesoema Albertus sebagai Ahli. Doni mengatakan, sebagai sebuah perjuangan moral, tuntutan Pemohon tidak boleh direduksi pada sekedar tuntutan perubahan teknis atas pasal-pasal di dalam Undang-Undang Guru dan Dosen, atau sekedar keajegan di dalam pelaksanaan atas peraturan perundang-undangan sebagaimana terjadi selama ini.
Menurut Doni, tuntutan ini bukan sekadar persoalan teknis perubahan pasal, melainkan perjuangan moral untuk menegakkan kesetaraan hukum dan penghargaan yang adil bagi profesi guru.
“Pasal 28D ayat (1) dan (2) UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum, serta berhak bekerja dengan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak. Perbedaan usia pensiun guru dan dosen melanggar prinsip tersebut, karena keduanya sama-sama pendidik dan menduduki jabatan fungsional,” ujar Doni.
Ia menambahkan, guru dan dosen sama-sama profesi mulia yang mencerdaskan kehidupan bangsa, sehingga seharusnya tidak ada diskriminasi. Pembedaan usia pensiun dianggap tidak relevan, terutama karena kualitas kesehatan masyarakat Indonesia terus meningkat. Data BPS 2024 mencatat umur harapan hidup mencapai 74,15 tahun bagi perempuan dan 70,32 tahun bagi laki-laki.
Doni juga menegaskan, di banyak negara, usia pensiun guru ditetapkan di atas 60 tahun. Di Jepang, misalnya, pegawai negeri sipil dapat diperpanjang masa kerjanya hingga usia 70 tahun. Fakta bahwa banyak guru dan dosen masih produktif setelah usia 60 tahun menunjukkan pembatasan usia pensiun tidak lagi sesuai dengan kondisi zaman.
Menurutnya, pengaturan pensiun yang tidak setara justru merugikan bangsa karena membatasi kontribusi guru berpengalaman dalam pemenuhan hak pendidikan warga negara. “Guru adalah pelaku utama pemenuhan hak pendidikan, khususnya pendidikan dasar. Jika usia pensiun dibatasi secara diskriminatif, maka kesempatan bangsa memperoleh pendidikan terbaik dari guru berpengalaman menjadi terhambat,” tegasnya.
Pada kesempatan yang sama, Majelis Hakim juga mendengarkan keterangan dua ahli dari Pemerintah yakni Eko Prasojo (Guru Besar Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia) dan Bahrul Hayat (Dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Dosen Faculty of Education Universitas Islam Internasional Indonesia).
Eko Prasojo menyampaikan pembedaan kebijakan Batas Usia Pensiun (BUP) antara Guru dan Dosen disebabkan oleh karakteristik pekerjaan dan konteks yang berbeda. “Bahwa mempertimbangkan kualitas dan jumlah guru yang ada pada saat ini, kebijakan menambah Batas Usia Pensiun guru akan menyebabkan terganggunya proses regenerasi guru yang lebih produktif dan berkualitas,” ujarnya.
Menurut Eko, dalam Pemerintahan yang desentralistik di Indonesia, kewenangan mengatur dan mengurus terkait dengan guru pada saat ini menjadi kewenangan kabupaten/kota (SD dan SMP) dan provinsi (SMA). Dengan kemampuan fiskal yang terbatas dan belanja pegawai yang tinggi, tambahan BUP akan menambah besar belanja pegawai.
Ia juga menyebut dengan memperhatikan proses dan persyaratan untuk diangkat dalam jabatan Guru Utama, kebijaksanaan dan pengalaman yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan, serta jumlah terbatas, maka dapat dipertimbangkan kenaikan BUP hingga usia 65 tahun bagi jabatan Guru Utama.
Peran dan Fungsi Berbeda
Sedangkan Bahrul Hayat menegaskan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen merupakan instrumen penting dalam menempatkan profesi guru dan dosen sebagai profesi yang bermartabat, setara dengan profesi mapan lainnya.
UU ini memberi landasan bagi perlindungan hukum, pengembangan karier berkelanjutan, penghargaan, serta jaminan kesejahteraan yang layak agar mampu melaksanakan tugasnya secara optimal dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Namun demikian, meskipun sama-sama berstatus sebagai pendidik profesional, guru dan dosen memiliki peran dan fungsi yang berbeda secara mendasar yang meniscayakan adanya perbedaan, antara lain, dalam syarat kualifikasi, jenjang karier, dan termasuk batas usia pensiun. Dengan demikian, perbedaan batas usia pensiun bagi guru dan dosen bukanlah bentuk diskriminasi, melainkan konsekuensi logis dari perbedaan hakikat profesi keduanya.
Oleh karena itu, ketentuan berbeda mengenai BUP guru dan dosen mencerminkan keadilan proporsional dan selayaknya tetap dijaga keberlakuannya dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan Dosen. Menyamakan perlakuan terhadap kedua profesi tersebut tanpa mempertimbangkan perbedaan tanggung jawabnya dapat menimbulkan ketidakadilan.
(Red/Humas NKRI)