Scroll Untuk Lanjut Membaca
Abah Haji Muhammad Ishomuddin: Ulama Dermawan Penebar Kedamaian dan Keberkahan, Berdakwah Tanpa Imbalan, Berbagi Tanpa Batas

 

Sidoarjo-gabungnyawartawanindonesia.co.id

Di tengah zaman yang kian materialistik, ketika banyak hal diukur dengan kekayaan dan kepentingan duniawi, hadir sosok ulama bersahaja yang justru menjadi pelita bagi umat melalui keteladanan hidup yang tulus dan penuh cinta. Dialah Abah Haji Muhammad Ishomuddin, atau yang akrab disapa Abah Haji Isom, seorang pendakwah dan guru agama yang telah mencurahkan lebih dari separuh hidupnya untuk mengabdi tanpa pamrih, demi kemaslahatan umat.

Lahir tahun 1957, Abah Isom merupakan putra dari ulama besar H. Abdul Manaf bin H. M. Bahri, pendiri Masjid Roudlotul Abidin serta madrasah pertama dan tertua di Desa Wedoro, Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo, yang berdiri sejak tahun 1948. Jejak darah perjuangan dan pengabdian kepada umat telah diwarisi sejak kecil dan mengakar dalam jiwa beliau.

Selama lebih dari 20 tahun, Abah Isom turut mencerdaskan umat melalui pengabdiannya di Pondok Pesantren Jawahirul Hikmah 3C Berbek, Waru Sidoarjo, di bawah asuhan Prof. Dr. KH. Moch. Zaki, ulama kharismatik keturunan Kalimantan, Martapura. Di sana, ia bukan sekadar mengajar, tapi juga menjadi pembimbing spiritual, pembina akhlak, dan tempat bertanya bagi ribuan santri.

Tak pernah sekalipun Abah Haji Isom memungut bayaran dalam berdakwah. Beliau menyampaikan ilmu agama kepada siapa saja—anak-anak, orang tua, ibu-ibu, bapak-bapak—tanpa memandang latar belakang dan tanpa pamrih. Lebih dari sekadar guru, ia adalah sahabat sekaligus pelindung ruhani bagi umatnya.

Kedermawanan beliau tak hanya dalam bentuk ilmu. Selesai setiap majelis, Abah Isom justru menyedekahkan hartanya dengan mengajak jamaah dan santri makan dan minum bersama. Dalam setiap kebersamaan, tumbuh suasana kehangatan dan kekeluargaan yang mengakar kuat di hati para jamaahnya.

Keistimewaannya juga tampak dalam cara ia memuliakan tamu. Siapa pun yang bertamu ke kediamannya akan disambut dengan senyum lembut, tempat istirahat yang layak, hidangan terbaik, dan tak jarang, ongkos pulang pun disiapkan sebagai bentuk penghormatan—akhlak luhur yang semakin langka di era kini.

Keteladanan Abah Isom bukan hanya di ranah sosial, tetapi juga dalam keteguhannya menjaga sunnah dan adab Islam. Bahkan untuk hal kecil seperti larangan makan dengan tangan kiri, ia tak pernah lelah mengingatkan. Baginya, mendidik umat bukan hanya soal ilmu, tapi juga tentang membentuk adab dan hati yang bersih.

“Saya hanya bekerja untuk Allah SWT. Rugi kalau mengharapkan bayaran di dunia, karena bayaran di dunia itu hanya imbas. Gaji yang sesungguhnya ada di akhirat nanti,” ujar beliau suatu kali dengan wajah teduh yang memancarkan kedamaian.

Keikhlasan itu pula yang membuat keberkahan hidup selalu mengiringinya. Berangkat haji pada tahun 1998 dan 2023, serta berkali-kali menjalankan ibadah umrah tanpa mengeluarkan biaya pribadi, karena selalu ada orang yang dengan ikhlas membiayai sebagai bentuk rasa cinta dan hormat kepada beliau.

Tak sedikit pula orang-orang yang datang kepadanya bukan sekadar untuk belajar agama, tetapi juga mengadu soal kehidupan—baik persoalan rumah tangga, kesulitan ekonomi, hingga masalah jiwa. Dan Abah Isom selalu hadir memberi solusi, baik secara spiritual maupun material, menenangkan hati, dan menumbuhkan kembali harapan.

Kini, di usia senjanya, Abah Haji Muhammad Ishomuddin tetap menebar cahaya keteladanan. Warisan dakwahnya bukan hanya tentang ilmu, tapi juga tentang akhlak, kasih sayang, dan keberanian untuk hidup sederhana dan bermakna. Ia adalah sosok ulama yang bukan hanya didengar, tetapi diteladani dalam laku dan perilaku.

Semoga Allah SWT senantiasa menjaga kesehatan, umur panjang, serta keberkahan dalam hidup beliau. Dan semoga amal jariyah Abah Haji Isom terus mengalir sebagai ladang pahala tiada putus hingga yaumil akhir.

Sosok seperti beliau bukan hanya guru, bukan sekadar ulama. Tapi permata kehidupan, yang kehadirannya adalah rahmat nyata bagi umat dan masyarakat sekelilingnya.

Dokumentasi pribadi penulis & kesaksian masyarakat sekitar

Penulis: Sudirlam

Reporter: Perwakilan Banten GWI