Kabupaten Tangerang | gabungnyawartawanindonesia – Di tengah geliat pembangunan industri yang kian masif, satu pertanyaan menggema lantang dari jantung Kecamatan Balaraja: Apakah suara rakyat masih memiliki arti? Pertanyaan itu mencuat dari aksi puluhan warga Kampung Cengkok, Desa Sentul, yang pagi ini, pukul 10.00 WIB, turun ke jalan bersama gabungan berbagai organisasi kemasyarakatan (ormas) untuk menyuarakan keresahan yang telah lama membuncah – dugaan pencemaran lingkungan oleh PT. SLI.
Mereka membentangkan spanduk bertuliskan tuntutan, sebagai simbol perlawanan terhadap apa yang mereka anggap sebagai ketidakadilan ekologis. Kekecewaan mendalam tergambar dari pernyataan salah satu warga, “Sudah bertahun-tahun kami menyampaikan keluhan, namun seolah hanya angin lalu. Apakah suara rakyat kini tak lagi berarti?”
Aksi ini tidak hanya menjadi corong protes, namun juga pernyataan sikap tegas bahwa hak atas lingkungan bersih bukanlah sesuatu yang bisa ditawar-tawar. Zarkasih, S.H., Sekretaris Jenderal LMPI Marcab Kabupaten Tangerang, menyatakan:
“Kami hadir bukan untuk membuat gaduh, tetapi untuk menegaskan: warga berhak hidup sehat. Jika industri bisa berjalan, maka warga juga harus bisa bernapas tanpa rasa khawatir.”

Sikap serupa disampaikan oleh Mad Dhouf, Ketua PAC Balaraja Ormas PPBNI (Satria Banten), yang menekankan bahwa keberadaan mereka adalah bagian dari pengawasan sosial:
“Ini bukan semata-mata aksi, ini bentuk tanggung jawab moral. PT. SLI harus transparan dan bertanggung jawab. Pemerintah daerah pun tidak boleh hanya menjadi penonton.”
Heri Djauhari, S.H., Sekjen Balai Adat Balaraja (Baladraja), bahkan menegaskan bahwa isu lingkungan menyangkut masa depan generasi:
“Lingkungan bersih bukan jargon kosong. Ini warisan untuk anak cucu kita. Bila pencemaran dibiarkan, itu sama saja merampas masa depan.”
Aksi damai yang berlangsung tertib ini juga dihadiri berbagai elemen masyarakat dan ormas, di antaranya LMPI Marcab dan PAC Balaraja, Pemuda Pancasila Balaraja, PAC PPBNI (Satria Banten), Badak Banten Balaraja, serta perwakilan aparat Polres Tigaraksa dan Polsek Balaraja yang turut menjaga ketertiban jalannya aksi. Keberadaan mereka mempertegas bahwa ini bukan sekadar keluhan sekelompok kecil warga, melainkan seruan kolektif yang mencerminkan keresahan publik.
Sejak beberapa tahun terakhir, dugaan pencemaran yang ditimbulkan oleh aktivitas industri PT. SLI telah menjadi momok bagi warga Kampung Cengkok. Namun, hingga kini, respons dari pihak perusahaan maupun pemerintah daerah dinilai tidak proporsional, bahkan cenderung mengabaikan aspirasi masyarakat.

Abdu Rohim, seorang aktivis lingkungan yang akrab disapa Oim, menegaskan bahwa hak atas lingkungan bersih adalah hak konstitusional yang wajib dipenuhi:
“Perusahaan tak bisa hanya memikirkan keuntungan. Mereka punya kewajiban sosial dan hukum. Pemerintah pun memiliki tanggung jawab moral dan legal untuk melindungi rakyat. Tidak boleh ada kompromi ketika menyangkut kesehatan warga.”
Tuntutan warga tetap konsisten: hak atas udara bersih, hak hidup sehat, dan hak atas informasi yang transparan mengenai pengelolaan limbah industri. Mereka juga mendesak pengawasan lingkungan yang ketat, berkala, dan independen, agar potensi pencemaran dapat dicegah sedini mungkin.
Kritik keras juga ditujukan kepada pemerintah daerah yang dinilai pasif dan lamban dalam merespons berbagai laporan warga. Padahal, keberpihakan pada masyarakat semestinya menjadi prinsip utama dalam tata kelola pemerintahan.
“Kami bukan menolak pembangunan. Tapi jika pembangunan berarti mengorbankan kesehatan rakyat, maka itu bukan kemajuan – itu kemunduran,” ujar salah satu warga yang enggan disebutkan namanya.
Di tengah kibaran spanduk dan orasi yang menggema, satu pesan tampak jelas: kesabaran rakyat ada batasnya. Jika PT. SLI dan pemerintah tetap menutup telinga, maka bukan tidak mungkin gelombang protes akan semakin membesar. Masyarakat sudah terlalu lama menunggu itikad baik – kini saatnya suara mereka dihargai, bukan dibungkam.
“Kami hanya ingin hidup layak, di tanah kami sendiri. Jangan sampai rakyat harus terus bersuara keras hanya untuk mendapatkan hak dasarnya,” tutup seorang tokoh warga.