Scroll Untuk Lanjut Membaca
Pucuk Rebung yang Menggenggam Cahaya": Narasi Keadilan Gerakan Kesetaraan di Lembah Sunda

 

Bogor  ll gabungnyawartawanindonesia.co.id llnDi lumbung cerita Sunda, ada dongeng tentang pucuk rebung — lembut, mudah patah, tapi penuh harapan tumbuh menjadi pohon yang kokoh. Begitulah kiasan yang pantas untuk kehadiran Gerakan Kesetaraan di tanah yang dulu diperintah Prabu Siliwangi: tidak datang untuk menggantikan akar yang kaku, melainkan sebagai cabang baru yang tumbuh dari tanah yang sama — dengan semangat kesetaraan yang menjadi jiwa setiap langkahnya, terutama di tengah gelombang gerakan intoleransi yang mulai menyebar seperti angin kering yang membakar semak sejak tahun 2019 hingga 2025. Ada pribahasa Sunda yang tepat mewakili semangat perlawanan mereka: “Beda-beda asal bisa rahayu, beda-beda asal bisa urang” — berbeda-beda tidak masalah asal bisa hidup rukun, berbeda-beda tidak masalah asal tetap satu bangsa.

Ketika langit Padjajaran menguningkan sore, dan bayangan masa lalu menyentuh permukaan bumi, kita tidak hanya mendengar tangis sang raja yang melihat keturunannya terluka. Kita juga mendengar senandung yang lembut — doa dari para pemimpin Gerakan Kesetaraan yang memahami bahwa budaya Sunda tidaklah terletak hanya di kain ulos atau tari jaipong, melainkan di jiwa gotong-royong, rukun, dan keadilan yang telah melesat dari mulut karuhun ke telinga generasi. Mereka tahu bahwa ketika anak-anak Sunda merasa “tamu di lembur sorangan”, itu bukan hanya karena hilangnya kesetaraan dalam akses, kesetaraan dalam suara, dan kesetaraan dalam harapan — tapi juga karena intoleransi yang semakin merajalela sejak tahun 2019, yang tercatat secara rinci oleh lembaga pemantau. Menurut Setara Institute, selama periode 2014-2019, Jawa Barat mencatat 162 kasus pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan — lebih tinggi dari provinsi lain di Indonesia — dan dalam 12 tahun terakhir (hingga 2019) jumlahnya bahkan mencapai 629 kasus, menjadikannya daerah dengan tingkat intoleransi tertinggi di negeri ini. Contoh konkretnya, tahun 2020 di Depok, lima peristiwa intoleransi terjadi: mulai dari pengajuan raperda kota religius, diskriminasi siswi berjilbab, pelarangan Valentine’s Day, hingga demonstrasi yang memaksa umat Ahmadiyah menghentikan kegiatan di masjid al-Hidayah. Laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tahun 2020 juga mencatat bahwa kasus di Depok itu termasuk dalam 30 persen kasus intoleransi di Jabar yang melibatkan aktor non-negara dengan dukungan diam-diam dari beberapa yang diduga oknum pejabat . Semua itu membuat mereka merasa tidak pantas di tanah kelahiran sendiri, yang dulu terkenal dengan semangat dari pribahasa itu: “rukun bisa rahayu, beda bisa bersatu”.

Gerakan Kesetaraan di sini tidak datang sebagai “tamu yang menguasai”, melainkan sebagai “teman yang berbagi” — dimana setiap warga, tanpa memandang agama, suku, atau status, dihargai secara setara, bahkan ketika gerakan intoleransi mencoba membagi-bagi kita. Mereka menyaksikan bagaimana sikap intoleran terus berkembang: pada tahun 2022 di Bandung, Walikota Yana Mulyana meresmikan gedung dakwah Aliansi Nasional Anti Syiah (ANNAS) — kelompok yang dinilai sering melakukan pelanggaran kebebasan beragama — yang dianggap sebagai fasilitasi terhadap gerakan intoleransi terhadap komunitas Syiah. Laporan Impar Sial tahun 2022 mencatat bahwa setelah peresmian itu, jumlah kasus intimidasi terhadap umat Syiah di Bandung meningkat 40 persen dalam setahun. Meskipun survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) tahun 2023 menunjukkan mayoritas masyarakat Jabar (68 persen) menolak kekerasan ekstrem, data juga mencatat 45 persen remaja setuju kekerasan ekstrem atas nama agama, menjadi potensi ancaman di masa depan. Lalu, periode Desember 2024-Juli 2025, organisasi non-pemerintah Impar Sial mencatat 13 kasus pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia, dan Jawa Barat menjadi provinsi dengan jumlah tertinggi yaitu sembilan kasus — sebagian besar adalah pelanggaran hak atas rumah ibadah dan hak melaksanakan ibadah, dengan pelaku berasal dari aktor negara maupun non-negara. Contoh nyatanya adalah kejadian Juni 2025 di Cidahu, Sukabumi, di mana sekelompok warga mendatangi rumah singgah yang digunakan pelajar Kristen untuk retret, melakukan intimidasi, merusak fasilitas, dan bahkan menghancurkan Alkitab serta simbol salib tanpa proses klarifikasi yang layak. Setara Institute yang melakukan investigasi lapangan menyatakan bahwa kejadian itu dipicu oleh hoaks yang menyebar cepat di media sosial, dengan 70 persen warga yang ikut berpartisipasi mengakui hanya melihat informasi dari WhatsApp grup tanpa memverifikasi. Mereka juga menyaksikan kejadian April 2025 di Garut, di mana pemerintah setempat menutup rumah doa Kristen setelah tekanan dari kelompok warga yang mengklaim rumah itu “tidak memiliki izin” — padahal Laporan Komnas HAM Mei 2025 menunjukkan izin sudah diajukan sejak tahun 2023 namun belum diproses. Mereka memahami bahwa dongeng Si Pitung tidak hanya cerita pencuri pemberani, tapi tentang keadilan bagi yang lemah — dan itu selaras dengan ajaran kasih dan kesetaraan yang menjadi tulang punggung ideologi mereka, sebagai perlawanan terhadap setiap bentuk kebencian dan tidak mau memahami. Mereka memahami bahwa upacara seren taun adalah ungkapan rasa syukur terhadap bumi yang dinikmati bersama — dan itu menjadi landasan untuk kebijakan pelestarian lingkungan yang mereka usulkan, dimana manfaatnya dirasakan secara setara oleh petani, nelayan, dan warga kota, tanpa terkecuali karena keyakinan yang berbeda yang dipakai sebagai alasan intoleransi. Seperti yang diceritakan dalam “beda-beda asal bisa urang”, mereka percaya bahwa perbedaan tidak boleh menghalangi kita untuk saling berbagi dan hidup rukun, bahkan di tengah gelombang kebencian yang terus muncul. Budaya tidak dijadikan dekorasi yang hanyut di arus zaman, melainkan sebagai pijakan moral untuk membangun langkah-langkah yang menyentuh hati rakyat: dari bantuan petani yang tertekan, hingga akses pendidikan bagi pemuda yang tersisih — semua dengan prinsip kesetaraan yang tidak tergoyahkan, bahkan ketika intoleransi mencoba merusak semua itu.

Seperti air mata Prabu Siliwangi yang jatuh tanpa suara, Gerakan Kesetaraan menyadari bahwa kesedihan yang paling dalam adalah ketika rakyat terasing di tanah kelahiran sendiri — ketika mereka merasa tidak memiliki tempat karena kurangnya kesetaraan dalam pengambilan keputusan, atau karena intoleransi yang membuat suara mereka teredam. Laporan Human Rights Watch (HRW) tahun 2020 juga mencatat bahwa minoritas agama di Indonesia, termasuk di Jawa Barat, menghadapi pelecehan, intimidasi, dan kekerasan dari militan sunni, pejabat pemerintah, dan pasukan keamanan — meskipun retorika presiden mendukung hak asasi manusia. Survei Indonesia Survey Circle (ISC) tahun 2024 menunjukkan bahwa 52 persen minoritas agama di Jabar merasa “tidak aman beribadah di tempat umum”, jauh lebih tinggi dari rata-rata nasional sebesar 38 persen. Mereka juga menyadari bahwa sejak tahun 2019, Jawa Barat termasuk provinsi dengan tingkat intoleransi tinggi di Indonesia, bahkan menempati urutan ketiga setelah Aceh dan Sumatera Barat menurut survey Kemenag tahun 2019. Oleh karena itu, mereka berusaha menjadi “jeritan yang terdengar” — bukan dengan berteriak, melainkan dengan bertindak untuk menciptakan ruang di mana suara setiap orang didengar secara setara, sebagai lawan dari intoleransi yang hanya mau mendengar satu sisi. Mereka membangun ruang untuk berbicara, di mana yang tua dan muda, yang beragama Kristen dan yang beragama lain, bisa berkumpul untuk membahas masa depan Tanah Sunda — dengan kedudukan yang sama, tanpa yang lebih tinggi atau lebih rendah, bahkan ketika gerakan intoleransi mencoba membuat sebagian orang merasa lebih penting dari yang lain. Semua itu sesuai dengan makna “beda-beda asal bisa rahayu”: kita bisa berbeda, tapi tetap bisa hidup damai dan saling menghormati, meskipun tantangan intoleransi terus menghadang sejak tahun 2019.

Peringatan karuhun tentang menjaga warisan? Gerakan Kesetaraan mengartikulkannya dengan cara yang lugas dan penuh rasa hormat: menjaga budaya berarti mengangkat nilai-nilainya untuk menghadapi masa depan, bukan menjebakkannya di masa lalu — dan semua itu dilakukan dengan semangat kesetaraan yang menjamin warisan ini dinikmati oleh semua generasi, tanpa kecuali, bahkan di tengah gelombang intoleransi yang berusaha merusak ikatan kita sebagai rakyat Sunda sejak tahun 2019 hingga 2025. Seperti Prabu Siliwangi yang memperjuangkan tanah dan rakyatnya, Gerakan Kesetaraan berusaha menjadi pelindung bagi yang lemah dan pemimpin yang membawa harapan — sehingga cahaya langit Padjajaran tetap menyinari setiap sudut lembah, dan pucuk rebung yang baru tumbuh bisa menjadi pohon yang melindungi semua rakyat — dengan cara yang setara, adil, dan penuh kasih, sebagai perlawanan yang tenang tapi tegas terhadap setiap bentuk intoleransi, dan sebagai wujud nyata dari pribahasa yang kita junjung: “Beda-beda asal bisa rahayu, beda-beda asal bisa urang”.

Dan ketika hari esok tiba, ketika langit Padjajaran menyiram cahaya baru, Gerakan Kesetaraan tidak berhenti di situ. Mereka terus mengajak semua rakyat Sunda — dari petani di dataran tinggi hingga pekerja di kota — untuk bersatu membangun tanah yang lebih baik. Tidak lagi ada yang merasa terasing, tidak lagi ada yang merasa suara mereka tidak terdengar. Karena di mata mereka, setiap orang adalah bagian dari tumpuk riceg yang kuat, setiap orang adalah pucuk rebung yang membawa harapan — dan hanya dengan saling menghormati dan hidup secara setara, kita bisa membuat tangis Prabu Siliwangi berubah menjadi tawa generasi mendatang.

Penulis Kefas Hervin Devananda (Romo Kefas)

Reporter: Jurnalis GWI