Jakarta, gabungnyawartawanindonesia.co.id., – Disahkannya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) dalam Rapat Paripurna DPR pada 18 November 2025 menandai salah satu tonggak terpenting dalam sejarah reformasi hukum Indonesia.
Namun, “tonggak” itu bisa menjadi fondasi atau justru palang pintu kemunduran; bergantung pada bagaimana negara mengelola kekuasaan dan bagaimana masyarakat sipil mengawasinya.
Sebagai Ketua Umum Gakorpan, saya memandang RKUHAP baru ini sebagai pedang bermata dua. Ada peluang memperkuat kepastian hukum, tetapi terdapat pula pasal-pasal yang membuka potensi penyalahgunaan kekuasaan jika tidak diawasi.
Seperti banyak pembaruan hukum sebelumnya, pertanyaannya bukan hanya “apa yang tertulis”, tetapi “siapa yang menjalankan dan dengan mekanisme apa publik dapat mengoreksi”.
Saya tidak menutup mata bahwa beberapa reformasi dalam RKUHAP patut diapresiasi.
1. Digitalisasi dan kepastian prosedural
Masuknya proses hukum berbasis elektronik—mulai dari penetapan penahanan, pemanggilan saksi, hingga berkas perkara—adalah langkah modern yang konsisten dengan praktik global. Ini berpotensi mengurangi manipulasi dokumen, mempercepat koordinasi antarpenegak hukum, serta meningkatkan jejak audit digital.
2. Penguatan peran hakim
Beberapa pasal mempertegas kewajiban pengawasan hakim dalam pengajuan permohonan penahanan, penggeledahan, hingga penyitaan. Jika dijalankan dengan profesional, hal ini dapat menekan praktik kriminalisasi dan penyalahgunaan wewenang penyidik.
3. Penguatan hak tersangka dan korban
RKUHAP memperjelas akses penasihat hukum sejak dini, membuka ruang restitusi korban, serta menegaskan batas waktu penyidikan dan penuntutan. Ini penting, mengingat stagnasi kasus sering menjadi alat tekanan kepada seseorang tanpa kepastian hukum.
Sisi Gelap yang Perlu Diwaspadai: Potensi Overreach Kekuasaan
Namun justru di balik klaim perbaikan prosedur, ada sejumlah pasal kontroversial yang menurut saya mengandung “virus” otoritarianisme baru.
1. Penyadapan tanpa pengawasan independen
RKUHAP menyerahkan otorisasi penyadapan kepada lembaga penegak hukum melalui mekanisme internal dan pengadilan, tanpa adanya badan pengawas independen yang memadai.
Masalahnya: di negara dengan indeks demokrasi dan integritas birokrasi yang masih rapuh, penyadapan dapat menjadi alat politik, bukan alat penegakan hukum.
Kita belajar dari banyak sejarah bahwa penyalahgunaan penyadapan selalu dimulai dengan satu kalimat:
“Ini demi keamanan nasional.”
2. Perpanjangan masa penahanan
RKUHAP memungkinkan perpanjangan penahanan dengan syarat tertentu yang relatif longgar.
Risikonya: penahanan berpotensi digunakan sebagai instrumen tekanan psikologis terhadap tersangka, bukan sebagai kebutuhan objektif penyidikan.
3. Minimnya ruang partisipasi masyarakat
Sejumlah kritik dari akademisi hukum, LSM, hingga organisasi profesi kurang diakomodasi dalam pembahasan final. Proses legislasi yang cepat tanpa dialog publik mendalam menghadirkan kesan bahwa negara lebih fokus mengejar pengesahan ketimbang memastikan kualitas substansi.
Pro dan Kontra: Mengapa Perdebatan Publik Meletup?
Kelompok Pro (Pendukung RKUHAP) berargumen:
Indonesia membutuhkan KUHAP baru karena KUHAP lama sudah berusia 43 tahun.
Modernisasi hukum mempercepat penanganan perkara.
Penambahan kewenangan penyidik diperlukan untuk menyesuaikan perkembangan kejahatan digital.
Penguatan peran hakim dianggap cukup sebagai rem pengawasan.
Kelompok Kontra (Pengkritik RKUHAP) menilai:
Beberapa pasal memperlebar kesenjangan kekuasaan antara aparat dan warga.
Pengawasan penyadapan tidak memadai.
Proses legislasi kurang inklusif dan minim naskah akademik terbuka untuk publik.
Penahanan yang longgar berpotensi meningkatkan kriminalisasi.
Kedua kubu memiliki argumen kuat. Tapi persoalan utama bukan sekadar “siapa benar”, melainkan “seberapa aman RKUHAP dalam konteks politik Indonesia saat ini”.
Analisis Politik dan Risiko Demokrasi
Sebagai aktivis antikorupsi dan advokat tata kelola pemerintahan, saya berkali-kali melihat bagaimana aturan dipelintir sesuai kepentingan kekuasaan.
Hukum tidak pernah netral; ia dipengaruhi struktur kekuasaan yang mengoperasikannya.
Poin pokok kekhawatiran saya adalah:
RKUHAP memberikan instrumen kuat kepada penegak hukum, tetapi tidak membangun pengawasan yang setara kuatnya.
Penyadapan, penahanan, dan penyitaan adalah wilayah yang di seluruh negara demokrasi menjadi perdebatan ketat. Di Indonesia, di mana lembaga pengawas sering tidak independen dan politisasi aparat bukan hal baru, memberi kewenangan besar tanpa firewall adalah risiko serius.
Apa yang Harus Dilakukan? Rekomendasi Gakorpan
Saya mengajukan tiga rekomendasi strategis agar implementasi RKUHAP tidak menjadi jalan tikus menuju otoritarianisme baru.
1. Bentuk Badan Pengawas Penyadapan Independen
Indonesia membutuhkan lembaga setara IPC (Australia) atau Independent Reviewers (Jerman), yang terdiri dari hakim senior, akademisi forensik, dan masyarakat sipil.
Fungsi utamanya:
memverifikasi seluruh permohonan penyadapan,
mengevaluasi alasan permintaan,
melakukan audit tahunan yang dipublikasikan.
Tanpa itu, penyadapan mudah berubah menjadi alat represi.
2. Membangun Mekanisme Audit Terbuka untuk Penahanan
Semua keputusan perpanjangan penahanan harus dimasukkan ke database digital nasional yang dapat diakses publik secara terbatas.
Ini bukan hanya transparansi, tetapi juga mencegah penyidik menyandera hak tersangka dengan alasan “proses hukum”.
3. Revisi Tahap Lanjutan dan Evaluasi Berkala
RKUHAP harus diberi klausul review period setiap 3–5 tahun.
Alasan: hukum acara pidana adalah hukum yang paling sensitif terhadap dinamika politik dan teknologi.
Apabila evaluasi menunjukkan penyalahgunaan, maka revisi parsial wajib dilakukan.
Penutup: Hukum Harus Memihak Keadilan, Bukan Kekuasaan
RKUHAP seharusnya menjadi momentum memperkuat negara hukum. Namun negara hukum bukan hanya soal aturan yang disahkan, melainkan tentang tata kelola kekuasaan. Tanpa pengawasan kuat, hukum akan menjadi instrumen dominasi.
Sebagai Ketua Umum Gakorpan, saya menegaskan bahwa kami akan terus memonitor implementasi RKUHAP. Jika penggunaan kewenangan aparat mulai menyimpang, masyarakat sipil harus bersuara, dan pemerintah wajib merespons.
Demokrasi tidak runtuh karena satu aturan, tetapi karena kelengahan publik terhadap aturan itu.
Oleh: Abednego Panjaitan – Ketua Umum Gakorpan.

















