Kabupaten Bogor,gabungnyawartawanindonesia.co.id 7 November 2025 —
Warga Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, kini tengah menuntut keadilan kepada Kejaksaan Negeri Kabupaten Bogor. Tuntutan tersebut muncul setelah tiga warga setempat, masing-masing berinisial PU, SU, dan KA, diduga menjadi korban kriminalisasi hukum dalam perkara yang berawal dari proses tukar guling lahan di kawasan Perkebunan PTPN II Gunung Mas, Kampung Citeko Panjang, Kecamatan Cisarua.

Scroll Untuk Lanjut Membaca
Oknum Jaksa Inisial US Diduga Jadi Penentu Restorative Justice dalam Kasus Kriminalisasi Hukum di Cisarua

Peristiwa itu bermula dari proses tukar guling (take over) lahan antara penggarap lama berinisial UJ dan PH, yang disaksikan langsung oleh sejumlah aparatur serta pejabat pemerintah setempat. Warga memiliki alas hak berupa over alih garap yang sah dan diakui dalam praktik pengelolaan lahan masyarakat setempat.

Namun, setelah proses jual beli lahan tersebut selesai, pihak PTPN II Gunung Mas justru memasang plang penguasaan lahan tanpa adanya pemberitahuan atau musyawarah terlebih dahulu kepada para penggarap baru. Merasa haknya diabaikan, PU bersama dua rekannya hanya mencabut plang tersebut sebagai bentuk protes spontan, tanpa ada unsur kekerasan ataupun niat jahat.
Ironisnya, aksi sederhana itu justru berujung pada laporan hukum dan penahanan terhadap ketiganya.

Sekretaris Jenderal Lembaga Pemantau Elang Tiga Hambalang (ETH), Ganda Satria Dharma, yang juga menjabat sebagai Pembina/Penasehat LBH Elang Tiga Hambalang, menyesalkan langkah hukum yang diambil terhadap warga tersebut. Ia menyebut, ketiga warga awalnya hanya dipanggil untuk memberikan klarifikasi biasa di Polda Jawa Barat, namun secara mengejutkan langsung ditetapkan sebagai tersangka hanya dalam hitungan jam.

“Korban dugaan kriminalisasi hukum itu datang dengan itikad baik untuk memenuhi panggilan pemeriksaan. Namun, setelah dua jam diperiksa, mereka langsung dipakaikan baju tahanan dan dipublikasikan di media. Tidak sampai 24 jam, mereka sudah digelandang ke Lapas Pondok Rajeg dengan status tahanan kejaksaan,” ungkap Ganda Satria dengan nada prihatin.

Ia menilai, proses tersebut mencederai asas keadilan dan menunjukkan potensi adanya kepentingan tertentu dalam penegakan hukum. ETH, kata Ganda, akan terus mengawal kasus ini hingga masyarakat benar-benar mendapatkan keadilan yang proporsional.

Sementara itu, Ketua Umum Lembaga Pemantau Elang Tiga Hambalang, H. Dedy Safrizal, menegaskan bahwa kunci penyelesaian perkara ini berada di tangan oknum jaksa berinisial US, yang disebut memiliki pengaruh besar dalam penentuan langkah hukum di tingkat kejaksaan.
Menurut Dedy, restorative justice menjadi jalan terbaik agar permasalahan ini tidak berlarut-larut dan dapat diselesaikan secara damai serta berkeadilan.

“ETH telah mengakomodir pendekatan restorative justice dengan cara pendekatan hukum berbasis hati nurani, bukan dengan cara peradilan kaku berbasis buku. Ini sesuai dengan arahan Jaksa Agung RI agar penyelesaian perkara seperti ini mengedepankan kemanusiaan dan keadilan substantif,” ujar Dedy Safrizal saat ditemui di sela kegiatan pengajian rutin di kediaman Garuda Yaksa.

Dedy menegaskan, jika oknum jaksa berinisial US tidak menunjukkan niat baik untuk membuka peluang restorative justice, ETH siap membuka fakta-fakta kasus ini ke publik secara terang benderang.

“Kami ingin masyarakat tahu bahwa hukum di Indonesia masih hidup, berpihak pada rakyat kecil, dan tidak boleh dijadikan alat untuk menekan mereka yang hanya memperjuangkan haknya,” tegasnya.

ETH berharap Kejaksaan Negeri Kabupaten Bogor dapat menanggapi aspirasi dan tuntutan masyarakat dengan bijak, membuka ruang keadilan yang sejati bagi warga yang menjadi korban dugaan kriminalisasi hukum, serta menjadikan restorative justice sebagai wujud nyata dari keadilan yang berperikemanusiaan.

Reporter: Reporter : Marully