Sintang,gabunganwartawanindonesia.co.id- Kalbar – Konflik agraria antara masyarakat adat Sebaruk dengan perusahaan perkebunan kembali mencuat di Kecamatan Ketungau Hulu, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Pada Kamis (2/10/2025), Ketemenggungan Iban Sebaruk mengeluarkan surat pemberitahuan bernomor 001/SKS/SP/2025 yang ditujukan kepada pimpinan PT DAP 1 dan PT DAP 2, anak perusahaan PT HPI, terkait dugaan pelanggaran pengelolaan lahan di wilayah Lubuk Tapang.

Scroll Untuk Lanjut Membaca
Ketegangan Masyarakat Adat Sebaruk dan Perusahaan Perkebunan PT DAP 1 dan PT DAP 2 Kini Kembali Memanas, Warga Soroti HGU

 

Pada hari ini telah digelar perkara di lapangan. Aparat dari Tim Brimob dan anggota TNI yang datang bersamaan mengatakan jika warga tetap ngotot panen sesuai perintah atasan tetap hari ini akan di proses karena dalam Minggu ini surat tembusan dari pusat akan datang untuk memanggil masyarakat apakah di Polsek Senaning atau di Polres Sintang,Kata salah satu oknum TNI tetapi setelah mendapat penjelasan dari warga tentang status HGU dan Sertifikat dan surat pemberitahuan panen oknum Anggota TNI itu sudah paham dan langsung pulang

Oknum Anggota TNI yang berjaga langsung menyadari bahwa kapasitas mereka hanya untuk mengamankan situasi, bukan memberhentikan warga yang panen, tentunya yang bisa menghentikan panen adalah pengadilan atau gugatan perdata dari perusahaan.

Anggota Brimob yang bernama Angga, mengakui bahwa sebagian warga memiliki sertifikat tanah di luar HGU. Ia juga melaporkan kondisi di lapangan kepada atasannya dan mengirimkan video ke pusat. Berdasarkan video tersebut, pusat menginstruksikan agar warga tidak ditangkap.

Sementara itu Kanit Polsek Senaning, Pak Paul, berdasarkan keterangan dari Anggota Brimob Angga yang ngepam di perusahaan tersebut jangan tangkap warga yang panen.Namun, oknum anggota TNI yang berjaga di lokasi sempat bersikeras menindak warga sesuai perintah atasannya.

Ketua adat Sebaruk menegaskan bahwa pemanggilan terkait persoalan ini harus melibatkan semua pihak berwenang. “Yang harus dipanggil adalah Dinas Perkebunan dan Kehutanan, BPN Sintang, DPRD, Pemda termasuk Bupati, Kapolres, Polda, hingga Kanwil Provinsi. Kalau semua hadir, maka akan terbuka apakah perusahaan benar mendirikan kebun di luar HGU atau tidak,” katanya.

Warga juga menyoroti peran koperasi yang dinilai tidak transparan. Sejumlah masyarakat mengaku hanya menerima pembayaran sangat kecil dari hasil kebun, bahkan ada yang hanya memperoleh Rp20 ribu hingga Rp60 ribu dalam tiga bulan.

Hidin Mahendro, mantan Humas perusahaan yang kini menjadi tokoh masyarakat, menyebut lebih dari 130 hektare lahan masyarakat yang dikelola perusahaan melalui koperasi hingga kini tidak jelas hasilnya. “Lahan umum itu tidak pernah memberikan keuntungan kepada masyarakat. Semua tidak transparan, dan ini merugikan warga,” ujarnya.

Masyarakat adat Sebaruk mendesak aparat penegak hukum untuk mengaudit keabsahan Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan, yang menjadi dasar hukum penguasaan lahan perkebunan.

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Pasal 28 menegaskan:

“Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu paling lama 35 tahun, dan kepada pemegang hak yang masih memerlukan dapat diperpanjang paling lama 25 tahun.”

Sementara Pasal 34 UUPA menyebutkan: “Hak Guna Usaha dapat diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektare. Jika lebih dari 25 hektare, harus menggunakan investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik.”

Aturan lebih lanjut juga terdapat dalam PP No. 18 Tahun 2021 yang merupakan turunan dari UU Cipta Kerja, yang menegaskan kewajiban pemegang HGU untuk:

1. Mengusahakan tanah sesuai peruntukannya.

2. Memelihara kesuburan tanah dan menjaga kelestarian lingkungan.

3. Membayar pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

4. Menghormati hak-hak masyarakat hukum adat.

Tanah “di luar HGU” berarti lahan tersebut bukan termasuk yang diberikan negara kepada perusahaan. Bisa berupa tanah negara bebas, tanah hak milik, atau tanah ulayat masyarakat adat. Jika perusahaan mengelola tanah di luar HGU, maka dapat dianggap melanggar hukum, termasuk penyerobotan (Pasal 385 KUHP) dan pengerusakan (Pasal 406 KUHP).

Tuntutan Masyarakat dengan dasar hukum tersebut, masyarakat adat Sebaruk menilai panen yang mereka lakukan sah karena berada di tanah adat yang bukan bagian dari HGU. Mereka mendesak pemerintah dan aparat penegak hukum untuk segera mengaudit perusahaan, memeriksa dugaan penghindaran pajak, serta memproses hukum ketua koperasi yang dianggap merugikan warga.

“Ini bukan sekadar masalah panen, tetapi soal keadilan dan hak hidup masyarakat adat. Kami minta hukum ditegakkan, perusahaan diaudit, dan hak masyarakat dikembalikan,” tegas perwakilan masyarakat.

Kini masyarakat menunggu pemanggilan resmi pada Jum’at (3/10/2025). Mereka berharap pertemuan tersebut benar-benar menghadirkan seluruh pihak yang berkapasitas sehingga duduk persoalan dapat diselesaikan secara transparan dan berkeadilan.

 

 

Pewarta : Rinto Andreas

Reporter: GWI Kalbar Perwakilan GWI Kalbar