Bengkayang,gabunganwartawanindonesia.co.id – Suasana duka menyelimuti kawasan perbukitan yang dikenal warga sebagai “Gudang Garam”, Kamis (4/9/2025) sore. Sekitar pukul 15.00 WIB, dua pekerja tambang emas tanpa izin (PETI) tertimbun tanah longsor. Malam harinya, pukul 22.12 WIB, keduanya ditemukan sudah tidak bernyawa.
Korban diketahui berinisial Ys, warga Kayan Hulu, Kabupaten Sintang, dan Yn, warga Kabupaten Sekadau. Kedua korban hanyalah pekerja di lokasi tambang yang sudah lama disebut masyarakat sebagai sarang PETI.
“Tertimpa kayu, lalu tertimbun tanah. Kami gali ramai-ramai sampai malam baru ketemu,” ungkap Mika, salah seorang saksi mata, dengan suara bergetar.
Lokasi di Perbatasan “Abu-Abu”
Lokasi kejadian berada di titik perbatasan antara Kelurahan Sagatani, Kecamatan Singkawang Selatan, Kota Singkawang dan Desa Rukma Jaya, Kecamatan Sungai Raya Kepulauan, Kabupaten Bengkayang. Kepala Desa Rukma Jaya mengakui, batas wilayah di lokasi tersebut memang tidak jelas.
“Di peta administratif beda, di lapangan susah ditentukan. Akhirnya, tambang liar bebas beroperasi,” ujarnya.
Informasi di lapangan menyebut, pemilik lahan berinisial NK, warga Sagatani, sementara pemilik mesin dompeng disebut-sebut DN, warga Sintang. Usai peristiwa longsor, keduanya dikabarkan menghilang dari lokasi.
Tragedi yang Berulang
Kasus serupa bukanlah yang pertama. Hampir setiap tahun, tambang emas ilegal di Kalimantan Barat menelan korban jiwa. Namun, pola yang sama selalu terjadi: operasi penertiban dilakukan, aktivitas berhenti sesaat, lalu kembali berjalan setelah aparat meninggalkan lokasi.
“Penertiban itu ada, tapi setengah hati. Begitu aparat pulang, mesin dinyalakan lagi,” tutur seorang warga Rukma Jaya.
Warga juga menduga adanya keterlibatan oknum yang membekingi aktivitas PETI, sehingga tambang ilegal tetap beroperasi meski sering memakan korban.
Desakan Penutupan Tambang
Tragedi yang merenggut nyawa Ys dan Yn kembali menegaskan bahwa aktivitas PETI bukan hanya persoalan hukum dan lingkungan, melainkan juga masalah kemanusiaan. Para pekerja hanyalah buruh upahan tanpa jaminan keselamatan maupun perlindungan.
“Kalau terus dibiarkan, korban jiwa akan jatuh lagi. Hari ini dua orang, besok bisa lebih banyak,” tegas seorang tokoh masyarakat Singkawang Selatan.
Hingga berita ini diturunkan, pihak kepolisian belum memberikan keterangan resmi. Warga mendesak agar lokasi tambang segera ditutup, pemilik lahan dan mesin diusut, serta jaringan PETI yang terlibat dibongkar.
Redaksi media masih berupaya menghubungi pihak-pihak terkait untuk konfirmasi lebih lanjut. Sesuai Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, redaksi juga membuka ruang hak jawab, hak koreksi, dan klarifikasi dari pihak-pihak yang disebutkan dalam pemberitaan ini.
Sumber: Keterangan warga dan saksi mata di lokasi
Pewarta : Rinto Andreas