PEMATANGSIANTAR, gabungnyawartawanindonesia.com — Penegakan hukum lalu lintas yang seharusnya memberi rasa tertib dan keadilan justru berubah menjadi tontonan ketidakprofesionalan di wilayah hukum Polres Pematangsiantar. Operasi Patuh Toba 2025 yang digelar oleh Satlantas Polres Pematangsiantar menuai kecaman publik, menyusul insiden kontroversial penindakan tilang yang diduga melanggar prosedur dan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan.
Kejadian ini mencuat setelah seorang pengemudi mobil pribadi ditilang karena SIM yang telah habis masa berlaku. Namun anehnya, surat tilang tidak diberikan langsung di tempat. Bahkan nomor BRIVA — yang semestinya disertakan untuk memudahkan proses pembayaran resmi — tidak diterima pengemudi hingga berjam-jam lamanya.
Lebih memprihatinkan, istri dari pengendara tersebut, Fuja, mengaku sudah menunggu hampir dua jam tanpa kejelasan, padahal anaknya yang berada dalam mobil sedang mimisan dan butuh segera dibawa ke fasilitas kesehatan.
“Saya berkali-kali minta kejelasan kepada petugas. Bukan hanya tidak digubris, kami malah dihalangi keluar. Anak saya mimisan, tapi portal ditutup!” ujar Fuja dengan nada getir.
Saksi sekaligus aktivis sosial Joniar M. Nainggolan yang hadir di lokasi menambahkan bahwa pihaknya telah mencoba membantu mencari solusi agar tilang bisa segera dibayar dan kendaraan bisa melanjutkan perjalanan. Namun, setiap kali meminta surat tilang dan BRIVA, jawaban petugas selalu mengambang — bahkan hingga dua kali nomor BRIVA yang diberikan salah.
“Ini bukan sekadar prosedur yang terlewat, tapi bisa dikategorikan sebagai bentuk ketidaktransparanan yang sistemik,” tegas Joniar.
Ironisnya, setelah perdebatan panjang selama lebih dari satu jam, tiba-tiba surat tilang “muncul” di tangan Kanit Patroli. Namun saat diminta oleh Joniar, surat tersebut tak kunjung diberikan, dan penjelasan yang diberikan petugas disebut penuh alibi yang tidak masuk akal.
Joniar kemudian menyampaikan beberapa dugaan pelanggaran SOP yang terjadi dalam operasi ini:
- Operasi dilakukan secara stasioner dengan plang, padahal semestinya tidak menetap di satu titik.
- Surat tilang tidak diberikan langsung kepada pelanggar di tempat kejadian.
- Nomor BRIVA tidak disertakan, atau diberikan dengan kesalahan fatal.
- Tidak ada kebijakan kemanusiaan, meski kondisi anak dalam kendaraan darurat.
- Denda tilang dikenakan sebagai “tanpa SIM” (maksimal Rp1 juta), padahal SIM hanya telat diperpanjang, bukan tidak dimiliki.
Gabungnyawartawanindonesia.com menilai kejadian ini mencerminkan lemahnya kontrol internal institusi Polri terhadap pelaksanaan operasi di lapangan. Jika benar ada unsur kesengajaan dalam mempersulit akses pembayaran resmi dan mengabaikan kemanusiaan, maka ini bukan hanya pelanggaran SOP — melainkan pengkhianatan terhadap tugas negara dalam melindungi rakyat.
Sudah saatnya Kapolda Sumut dan Propam turun tangan untuk mengusut tuntas dugaan penyalahgunaan wewenang ini. Tidak cukup hanya klarifikasi sepihak — publik butuh jawaban dan perubahan nyata.
Laporan: M. Zulfahri Tanjung