Sintang,gabunganwartawanindonesia.co.id-Kalbar,– Kalimantan Barat — Polemik aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di salah satu wilayah Kabupaten Sintang kembali mencuat ke permukaan. Salah satu warga setempat, Timbok, yang juga merupakan ahli waris lahan kuburan di sekitar lokasi tambang, angkat bicara mengenai dugaan adanya setoran dan pengelolaan aktivitas PETI oleh pihak-pihak tertentu”, Ucapnya kepada awak media ini, Sabtu 25/10/2025.
Dalam keterangannya kepada awak media, Timbok menjelaskan bahwa lahan tempat aktivitas tambang tersebut merupakan lahan umum milik masyarakat adat, bukan milik pribadi seseorang. Ia bahkan mengaku sempat dilarang memasuki area tersebut oleh seseorang berinisial Iyao.
“Lahan itu milik masyarakat banyak, termasuk saya, karena ada tanah kuburan keluarga di situ. Tapi waktu mau masuk ke lokasi, saya dilarang oleh Pak Iyao. Padahal saya juga punya hak di situ,” ujar Timbok.
Lebih lanjut, Timbok mengatakan dirinya hanya beraktivitas di sekitar jalan yang sudah ada sebelumnya, bukan di area inti tempat alat berat beroperasi. Menurutnya, jalan tersebut kini rusak akibat aktivitas ekskavator yang keluar masuk ke lokasi tambang ilegal.
“Saya ngerok di luar jalan eksa. Jalan itu sudah rusak karena alat eksa yang lewat. Berdasarkan keterangan Pak Kumis, alat eksa masuk lewat lahan Pak Ranggut,” jelasnya.
Timbok juga menyinggung adanya dugaan setoran dari para penambang kepada sejumlah pihak, termasuk oknum perangkat desa. Ia mengaku mendengar informasi bahwa setiap jam kerja alat berat dikenai biaya tertentu, serta adanya pungutan per hektare dari para penambang.
“Kalau soal setoran Rp150 ribu per jam ke Pak Ranggut saya tidak tahu pasti, tapi yang Rp200 ribu ke desa itu memang pernah dibahas dalam pertemuan di balai desa. Waktu itu dari hasil mufakat disepakati Rp1.300.000 per hektare, dan Rp200 ribu di antaranya masuk ke kas desa,” ungkapnya.
Namun beberapa minggu kemudian, tarif tersebut disebut naik menjadi Rp1.500.000 per hektare. Timbok menambahkan, uang setoran para penambang diserahkan kepada seseorang bernama Rangga, yang disebut mewakili pihak desa.
“Penambang di lapangan setor ke Pak Rangga. Dari hasil perhitungan, kalau Rp1,5 juta per hektare dikali 4 hektare, totalnya sekitar Rp6 juta. Setoran itu yang ngatur sekarang katanya Pak Dani,” tambahnya.
Hingga berita ini diterbitkan, belum ada konfirmasi resmi dari pihak pemerintah desa maupun aparat penegak hukum terkait dugaan adanya setoran dan aktivitas PETI di wilayah tersebut.
Aktivitas PETI di Kabupaten Sintang dan sekitarnya telah lama menjadi perhatian berbagai pihak karena dampak lingkungan dan sosial yang ditimbulkannya. Aparat penegak hukum diharapkan segera turun tangan menelusuri dugaan pungutan liar dan penyelewengan wewenang di balik aktivitas tambang ilegal tersebut.
Pewarta: Rinto Andreas
Editor: Redaksi zonapos.co.id

















