Kaltim, 23 Oktober 2024 — gabungnyawartawanindonesia.co.id
Lembaga Pemantau Elang Tiga Hambalang Kalimantan Timur (ETH Kaltim) melakukan kajian hukum dan pengawasan terhadap kebijakan pemberian dana hibah oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Timur kepada Aparat Penegak Hukum (APH) di wilayah Kalimantan Timur. Kajian ini menyoroti aspek legalitas, akuntabilitas, dan potensi konflik kepentingan dalam pelaksanaan kebijakan tersebut.
Dalam nota kajian resminya, ETH Kaltim menjelaskan bahwa pemberian hibah kepada instansi vertikal seperti Kepolisian dan Kejaksaan harus tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya terkait pengelolaan keuangan daerah (APBD) dan batas kewenangan antara pemerintah daerah dengan instansi pusat.
“Kedudukan Kejaksaan dan Kepolisian merupakan instansi vertikal pemerintah pusat. Secara prinsip, anggaran pembangunan dan operasional mereka bersumber dari APBN, bukan dari APBD,” jelas hasil kajian ETH Kaltim.
Berdasarkan Pasal 300 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, pemerintah daerah memang dapat memberikan bantuan keuangan kepada instansi vertikal apabila bantuan tersebut mendukung penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah dan memberikan manfaat langsung bagi masyarakat.
Namun, ETH Kaltim menegaskan, Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 secara jelas mengatur bahwa hibah kepada instansi vertikal tidak boleh bersifat rutin, tidak boleh digunakan untuk operasional, serta harus didasarkan pada perjanjian kerja sama (MoU) yang menjelaskan manfaat publik yang terukur.
ETH Kaltim juga menyoroti kemungkinan adanya pelanggaran prinsip keuangan negara apabila dana hibah digunakan untuk pembangunan fisik gedung, markas, atau fasilitas utama APH. Sebab, pembangunan fasilitas semacam itu merupakan urusan pemerintah pusat dan seharusnya dibiayai melalui APBN, bukan APBD daerah.
Selain aspek hukum, lembaga tersebut menilai adanya potensi konflik kepentingan dan gangguan terhadap independensi penegakan hukum, mengingat APH yang menerima hibah juga memiliki kewenangan menindak kasus hukum di wilayah yang sama.
“Pemberian dana hibah kepada APH tanpa dasar hukum yang jelas bisa menimbulkan persepsi negatif terhadap netralitas dan independensi penegakan hukum di daerah,” tulis ETH Kaltim dalam nota tersebut.
Dalam bagian akhir nota kajian, ETH Kaltim merekomendasikan agar pemberian dana hibah kepada APH hanya dapat dilakukan jika memenuhi beberapa syarat pokok:
1. Terdapat MoU resmi dan manfaatnya jelas bagi masyarakat;
2. Tidak digunakan untuk pembangunan fisik utama atau kegiatan operasional rutin;
3. Mendapat persetujuan DPRD serta tercantum secara sah dalam dokumen APBD.
ETH Kaltim menegaskan, jika pemberian dana hibah tersebut dilakukan tanpa dasar hukum yang kuat atau digunakan untuk membangun fasilitas instansi vertikal pusat, maka kebijakan tersebut berpotensi melanggar Undang-Undang Keuangan Negara dan PP Nomor 12 Tahun 2019. Hal ini dapat menjadi objek pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) maupun penegakan hukum oleh aparat berwenang.
“ETH Kaltim akan melakukan pemantauan dan verifikasi lapangan terhadap penggunaan dana hibah dimaksud untuk memastikan tidak terjadi penyimpangan maupun penyalahgunaan anggaran publik,” tegas pernyataan lembaga tersebut.