Kalimantan Barat, gabunganwartawanindonesia.co.id-Kalbar-, Warga Desa Empunak Tapang Keladan, Kecamatan Ketungau Hulu, Kabupaten Sintang, bersama Tim Investigasi yang diberi kuasa hukum dan Tumenggung Iban Sebaruk langsung mendatangi Polda Kalimantan Barat untuk melaporkan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh PT Hutama Plantation Indonesia (HPI) terkait pengelolaan lahan sawit. Namun, laporan mereka belum dapat diterima oleh pihak SPKT Ditreskrimum Polda Kalbar karena dianggap belum melengkapi sejumlah dokumen administrasi.
Menurut keterangan Ketua Tim Investigasi yang diberi kuasa oleh masyarakat dan tumenggung iban sebaruk, pihak SPKT meminta kelengkapan dokumen berupa Surat Hak Usaha (SHU), surat perjanjian kerja sama (MOU), serta surat penyerahan lahan, baik untuk lahan yang memiliki Hak Guna Usaha (HGU) maupun yang tidak.
“Kami datang dengan niat baik untuk mencari keadilan, namun laporan kami belum diterima karena alasan administrasi. Padahal kami sudah membawa bukti awal. Kami akan buktikan di ATR/BPN bahwa di sana banyak kejanggalan dalam pengelolaan lahan PT HPI,” ujarnya.
Dugaan Pelanggaran Pola 8-2 dan Ketidakjelasan Bagi Hasil
Warga menilai perusahaan melanggar perjanjian pola kemitraan 8-2, di mana dua bagian untuk petani dijanjikan tanpa utang. Namun faktanya, bagian petani justru dibebankan utang dan hasil yang diterima sangat kecil.
“Gaji petani tidak menentu, ada yang menerima Rp200 ribu, ada Rp100 ribu, bahkan hanya Rp50 ribu per bulan. Ini sangat tidak manusiawi,” ujar perwakilan warga.
Selain itu, pembagian hasil dari lahan yang dikelola koperasi di bawah pimpinan Budiman Baron juga disebut tidak transparan. Lahan yang diserahkan melalui Kadus Sindi hingga kini belum jelas pembagiannya meski sudah hampir setahun dikelola.
Setelah laporan ditolak di Polda Kalbar, warga dan Tim LBH langsung menuju Kantor Wilayah ATR/BPN Provinsi Kalimantan Barat. Mereka menyampaikan laporan resmi terkait dugaan pelanggaran yang dilakukan PT HPI, termasuk pengelolaan lahan di luar kawasan HGU dan di atas lahan bersertifikat milik warga.
Dalam laporan tersebut, masyarakat memberi waktu 14 hari kepada ATR/BPN Kanwil Kalbar untuk menindaklanjuti dan memverifikasi data HGU serta status lahan yang disengketakan.
“Kami berharap ATR/BPN segera turun ke lapangan, karena persoalan ini bisa memicu konflik di masyarakat. Kami tidak mau gonjang-ganjing terus berlarut,” tegas Ketua Tim Investigasi.
Diduga Langgar Hukum dan Kearifan Lokal
Tim LBH menilai tindakan PT HPI berpotensi melanggar sejumlah pasal hukum, antara lain:
Pasal 385 KUHP tentang Penyerobotan Tanah,
Pasal 406 KUHP tentang Pengerusakan Barang atau Tanah Orang Lain,
serta Pasal 28–34 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Hak Guna Usaha (HGU).
Selain itu, perbuatan perusahaan juga dinilai melanggar prinsip kearifan lokal masyarakat adat yang telah diakui oleh negara dan dideklarasikan dalam forum PBB.
“Sertifikat tanah itu ada lambang negara, Garuda Pancasila. Itu bukti pengakuan negara atas hak milik warga. Tapi kenapa di lapangan masyarakat malah ditakut-takuti? Ada satpam warga yang dilaporkan dan keluarganya ketakutan karena isu penangkapan,” tambah Ketua Tim.
Tembusan dan Seruan ke Presiden
Laporan resmi masyarakat dan LBH telah disampaikan ke:
Kapolda Kalimantan Barat,
Wakil Gubernur Kalbar,
Pimpinan PT HPI di Pontianak,
Ombudsman RI Perwakilan Kalbar,
serta Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat.
Selain itu, warga juga memohon perhatian Presiden RI Prabowo Subianto agar meninjau langsung pokok persoalan ini dan memastikan aparat hukum bertindak adil.
“Kami juga mempertimbangkan untuk mengirim surat resmi kepada Presiden, dengan tembusan kepada Kapolri, Jaksa Agung, Gubernur, hingga perwakilan masyarakat Dayak di PBB, Bapak Andrew Ambrose Atama Katama di New York,” ungkapnya.
Menurut mereka, hal ini penting karena menyangkut hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) yang menegaskan bahwa masyarakat adat berhak atas wilayah dan sumber daya yang mereka miliki atau duduki secara tradisional.
Ketua Tim Investigasi juga menegaskan bahwa seluruh institusi hukum, termasuk Kapolda dan Kejati Kalbar, sudah mengetahui permasalahan ini.
“Kami minta aparat jangan menunggu laporan masyarakat bertumpuk baru bergerak. Jangan tunggu warga bertikai di lapangan. Segera tindaklanjuti laporan ini secara hukum,” tegasnya.
Warga Desa Empunak Tapang Keladan dan Tim Investigasi yang diberi kuasa oleh Tumenggung Iban Sebaruk mendesak ATR/BPN Kanwil Kalimantan Barat segera mengambil langkah konkret dalam waktu 14 hari, memeriksa batas HGU, isi MoU, serta status tanah bersertifikat. Dugaan pelanggaran oleh PT HPI disebut makin kuat dan harus segera ditangani untuk mencegah konflik horizontal di masyarakat.
Penulis : Rinto Andreas