Scroll Untuk Lanjut Membaca
Camat Cipatujah dan Krisis Keterbukaan, Cermin Buram Pejabat Publik

Tasikmalaya,gabungnyawartawanindonesia.co.id – Baru sepekan menjabat, Camat Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya, sudah menorehkan catatan tersendiri, bukan karena kinerja, melainkan karena sikap yang dinilai kurang bersahabat terhadap insan pers.

Beberapa wartawan mencoba melakukan konfirmasi melalui telepon dan pesan WhatsApp, termasuk Ikin Roki’in, SE., MM, wartawan senior sekaligus Ketua Umum Perkumpulan Pemimpin Redaksi Independen Indonesia (PPRI Indonesia). Namun upaya komunikasi itu tak mendapat tanggapan, bahkan sekadar sapaan singkat pun tak berbalas.

Sikap tersebut sontak memantik perhatian publik, terutama kalangan media. Bukan semata karena etika komunikasi yang terabaikan, tetapi karena hal itu mencerminkan lemahnya kesadaran seorang oknum pejabat publik terhadap prinsip keterbukaan informasi yang merupakan fondasi pemerintahan modern dan akuntabel.

“Baru satu minggu menjabat saja sudah menunjukkan sikap tertutup terhadap wartawan. Bagaimana nanti dia bisa memberi contoh kepada para kepala desa di wilayahnya?” ujar Ikin Roki’in dengan nada kecewa.

Antara Jabatan dan Kesadaran Etis
Seorang camat bukan sekadar pejabat administratif yang mengurusi urusan teknis pemerintahan di tingkat kecamatan. Ia adalah kepala wilayah, yang memegang tanggung jawab sosial dan moral untuk membina komunikasi publik secara terbuka dan konstruktif.

Sikap tidak responsif terhadap wartawan bukan hanya pelanggaran terhadap norma etika pemerintahan, tetapi juga berpotensi melanggar hak publik atas informasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, serta bertentangan dengan semangat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Kedua regulasi itu menegaskan bahwa pejabat publik berkewajiban menyediakan informasi yang relevan dan dapat diakses oleh masyarakat melalui media massa. Wartawan, dalam konteks itu, bukan ancaman, melainkan jembatan antara pemerintah dan rakyat.

Refleksi atas Sikap Tertutup
Tindakan Camat Cipatujah yang memilih diam dan menghindar dari komunikasi justru memperkuat kesan bahwa sebagian pejabat masih belum memahami esensi pelayanan publik.

Keterbukaan informasi bukanlah pilihan, melainkan kewajiban. Respons terhadap wartawan, sekecil apa pun bentuknya, mencerminkan kesadaran terhadap prinsip transparansi dan tanggung jawab jabatan.

Lebih jauh, sikap seperti ini dapat menciptakan jarak antara pemerintah kecamatan dan masyarakatnya. Jika komunikasi dasar saja tidak berjalan, bagaimana mungkin sinergi dan koordinasi pemerintahan dapat terbangun dengan baik?

“Seharusnya camat menjadi contoh keterbukaan, bukan simbol keengganan terhadap pengawasan publik,” tambah Ikin.

Perspektif Hukum dan Etika
Dalam konteks hukum, wartawan memiliki hak untuk mencari, memperoleh, dan menyebarkan informasi. Upaya menghambat tugas jurnalistik dapat dikategorikan sebagai bentuk penghalangan terhadap kebebasan pers.

Sementara dalam perspektif etika pemerintahan, pejabat publik wajib menjaga hubungan baik dengan media sebagai bagian dari akuntabilitas dan transparansi.
Keterbukaan bukan hanya demi citra, melainkan bagian dari tanggung jawab moral terhadap publik yang dilayani.

Camat yang menutup diri dari wartawan sama saja menutup diri dari rakyat. Sebab media adalah instrumen kontrol sosial yang membantu memastikan jalannya pemerintahan sesuai koridor hukum dan kepentingan publik.

Langkah yang Seharusnya Ditempuh
Idealnya, Camat Cipatujah membuka ruang komunikasi dengan media secara proporsional. Ia dapat menunjuk pejabat penghubung atau staf humas untuk menjawab kebutuhan informasi wartawan.
Selain itu, pemerintah kecamatan seharusnya menyediakan kanal informasi resmi, baik dalam bentuk website maupun forum publik, agar setiap kegiatan pemerintahan dapat diakses masyarakat dengan mudah.

Langkah sederhana seperti membalas pesan konfirmasi dari wartawan pun merupakan bentuk penghormatan terhadap hak publik untuk tahu.
Keterbukaan bukan ancaman, melainkan investasi kepercayaan.

Penutup: Ujian Integritas Pejabat Baru
Sampai berita ini diterbitkan, tidak ada komunikasi yang berhasil dilakukan antara wartawan dan Camat Cipatujah.
Sikap diam pejabat publik terhadap media bukan sekadar persoalan etika, tetapi menjadi indikator rendahnya kesadaran terhadap tanggung jawab publik yang diemban.

Sebagaimana disampaikan Ikin Roki’in, jika ke depan ditemukan dugaan pelanggaran atau indikasi penyimpangan di wilayah Cipatujah, maka langkah konfirmasi tak perlu dipaksakan.
Wartawan cukup menyerahkan temuan dengan bukti lengkap kepada aparat penegak hukum, sebab transparansi tidak mungkin dibangun diatas sikap yang tertutup.

Camat Cipatujah mungkin masih baru. Namun publik berharap, jabatan yang baru tidak dijalankan dengan mental lama.
Sebab dalam pemerintahan yang terbuka, pejabat tidak dinilai dari seberapa tinggi jabatannya, tetapi dari seberapa rendah hatinya untuk mendengar dan berbicara. (Ppri/Red)

Reporter: Jurnalis GWI