
Jakarta |gabungnyawartawanindonesia.co.id.- Pada tanggal 1 oktober 2025, indonesia hari ini. Tidak sedang baik-baik saja, dalam rentang waktu. Yang nyaris bersamaan, dua tragedi besar terjadi terhadap dua kelompok penting penyangga demokrasi : wartawan dan aktivis rakyat, yang satu di pukul hingga buta. Yang lain, kini di penjara tanpa dasar yang adil.
Dua kasus yang tampak berbeda, namun menyimpan satu pola yang sama : Pembungkaman sistemik terhadap suara-suara kebenaran, PENGANIAYAAN JURNALIS : KEBEBASAN PERS DI AMBANG KEGELAPAN.
Kekerasan terhadap jurnalis kembali terjadi, kali ini menimpa Diri Ambarita, wartawan di Bekasi. Ia dikeroyok secara brutal hingga mengalami kebutaan di mata kiri dan luka-luka serius lain. Hingga berita ini diturunkan, belum ada satu pun pelaku yang ditangkap. Polisi masih “mempelajari laporan”, sementara korban mengalami trauma mendalam dan kehilangan fungsi penglihatannya secara permanen di satu mata.
Di waktu hampir bersamaan, di Sumatra Utara, jurnalis Tahan Purba menjadi korban pengeroyokan oleh empat pria. Namun ironi menampar nurani hukum: justru Tahan yang kini dilaporkan balik dan berstatus sebagai terlapor.
Dua kasus ini seharusnya cukup untuk membuat sirine darurat berbunyi di kantor Dewan Pers, Komnas HAM, dan Kepolisian Republik Indonesia. Namun, yang terdengar justru senyap. Negara kembali absen, dan kekerasan terhadap jurnalis lagi-lagi diperlakukan seperti debu politik—dibiarkan menumpuk dalam ruang kosong keadilan.
PROF. DR. SUTAN NASOMAL: “INI PENGKHIANATAN TERHADAP DEMOKRASI!”
Menanggapi tragedi ini, Prof. Dr. Sutan Nasomal, SH, MH, pakar hukum pidana internasional, Presiden Partai Oposisi Merdeka, sekaligus Ketua Komite Wartawan Indonesia, menyampaikan kritik keras terhadap negara dan institusi pers.
> “Ini bukan sekadar tindak kriminal. Ini adalah kejahatan terhadap demokrasi. Bila wartawan dibungkam dengan kekerasan dan negara memilih diam, maka kita sedang berjalan mundur ke era represif,” ujar Prof. Sutan dari markas pusat Partai Oposisi Merdeka di Jakarta (30/9).
Ia menambahkan bahwa Dewan Pers harus segera turun tangan dan tidak boleh menjadi institusi simbolik yang hanya hadir di seminar-seminar.
> “Dewan Pers jangan hanya hadir saat acara seremonial dan diskusi panel. Sekarang waktunya membela jurnalis di lapangan, bukan di ruang ber-AC.”
Prof. Sutan menyampaikan 6 tuntutan tegas : 1, Dewan Pers harus aktif mendorong penuntasan kasus penganiayaan Diri Ambarita. 2, Kapolda Metro Jaya wajib memprioritaskan kasus ini dan menangkap semua pelaku. 3, Hentikan segala bentuk intimidasi dan kriminalisasi terhadap jurnalis. 4, Berikan perlindungan maksimal kepada wartawan di lapangan. 5, Tegur keras aparat penegak hukum yang tunduk pada tekanan politik atau ekonomi. 6, Ingatkan Presiden dan Kapolri bahwa demokrasi tidak akan tumbuh dalam ketakutan.
YAKARIM MUNIR LEMBONG : DARI SUNGAI KE PENJARA Sementara di ujung barat Indonesia, di Aceh Singkil, Yakarim Munir Lembong, seorang aktivis agraria, kini mendekam di penjara. Ia dilaporkan secara pidana oleh perusahaan sawit PT. Delima Makmur yang diduga tengah berkonflik tanah dengan warga.
Yakarim bukan preman. Ia bukan perusuh. Ia adalah simbol perjuangan rakyat kecil yang bertahun-tahun memperjuangkan hak atas tanahnya. Tapi justru kini, ia diperlakukan seperti kriminal.
Padahal proses gugatan perdata sedang berjalan. Tapi perusahaan menggunakan celah hukum pidana untuk membungkam suara perlawanan. Lagi-lagi, negara diam. Aparat justru sigap menahan Yakarim, meski tak ada bukti kuat adanya tindak pidana.
KRIMINALISASI PEJUANG : KETIKA HUKUM DITITIPI Dalam surat terbuka dari penjara, Yakarim menulis: Saya mohon kepada Bapak Presiden Prabowo Subianto untuk tidak menutup mata. Perusahaan ini telah merampas tanah rakyat dan menjadikan hukum sebagai alat untuk membungkam kami.”
Surat itu menyentuh kalangan akar rumput. Warga setempat bahkan mengancam aksi blokade jika pemerintah terus bungkam. Kuasa hukumnya, Zahrul SH, menyatakan tegas:
> “Penahanan ini tidak memiliki dasar. Ini sengketa perdata yang dipaksakan ke ranah pidana. Ini adalah bentuk nyata kriminalisasi terhadap pembela hak rakyat.”
SATU NARASI : MEMBUNGKAM KEBENARAN Apa yang terjadi pada Diri Ambarita dan Yakarim Munir Lembong bukanlah kebetulan. Ini adalah pola sistemik Ketika jurnalis yang bicara kebenaran dipukul, dan rakyat yang memperjuangkan haknya dipenjara, maka negara sedang menempatkan diri sebagai lawan rakyat, bukan pelindungnya.
Indonesia saat ini menghadapi kondisi yang sangat memprihatinkan. Demokrasi tidak hanya sedang diuji, tapi sedang dilucuti dari dalam.
Redaksi bertanya : KEMANA NEGARA?, Kemana Dewan Pers?. Kemana Komnas HAM?, Kemana para tokoh demokrasi. Yang dulu lantang di era reformasi?, Kemana elite partai yang dulu berjanji membela rakyat?.
Apakah mereka kini lebih nyaman berada di lingkaran kekuasaan, sembari menutup mata terhadap kenyataan di lapangan?
SERUAN UNTUK RAKYAT: JANGAN DIAM
Bangkitlah, rakyat Indonesia. Ini bukan lagi soal satu wartawan, atau satu aktivis. Ini soal masa depan kita semua. Hari ini Diri Ambarita kehilangan penglihatannya karena menjalankan tugas jurnalistik. Yakarim dipenjara karena memperjuangkan tanah rakyat.Besok bisa jadi giliran siapa saja dari kita.
Jika hukum hanya berpihak pada yang kuat, jika negara hanya melindungi elite dan korporasi, maka kita sedang menyaksikan demokrasi dipreteli, sedikit demi sedikit—hingga mati.
KESIMPULAN, KITA SEDANG UJIAN BESAR SEBAGAI BANGSA.
> Demokrasi tidak mati saat tank masuk ke jalanan. Demokrasi mati saat kebenaran dibungkam, saat hukum dipermainkan, dan saat rakyat dipaksa diam.
Ini bukan sekadar dua kasus. Ini adalah darurat demokrasi. Dan diam berarti membiarkan tirani tumbuh.
(Jihandak Belang/Hormat Kami : Redaksi Fast Respon Nusantara “FRN”/Sumber Penulis : Syahbudin Padank/Penanggung Jawab: Prof. Dr. Sutan Nasomal, SH, MH Dewan Pimpinan Pusat Komite Wartawan Indonesia)
Reporter:
Perwakilan GWI Aceh