Takengon |gabungnyawartawanindonesia.co.id.- Kasus dana Masjid Baitul A’la di Kecamatan Ketol kembali memicu kemarahan publik. Aktivis Aceh Tengah, Ruhdi Mahara, menilai persoalan ini bukan lagi sekadar kelalaian panitia, melainkan sudah mengarah pada praktik korupsi berjubah agama.
“Jangan jadikan masjid sebagai ATM. Uang umat, uang ASN, bahkan iuran PGRI yang katanya sukarela itu, sudah bertahun-tahun dipungut.
Tapi apa hasilnya? Masjidnya masih mangkrak. Ini jelas-jelas ada yang tidak beres,” tegas Ruhdi, saat dimintai tanggapan, Jumat malam.
Menurutnya, pola semacam ini sudah sering terjadi di Aceh Tengah. Proyek rumah ibadah kerap dijadikan tameng untuk meraup keuntungan pribadi.
“Selama ini kita terlalu sering mendengar alasan klasik: dana belum cukup, masih menunggu tambahan, atau menanti musyawarah.
Padahal dana sudah terkumpul ratusan juta. Kalau benar dikelola transparan, seharusnya minimal ada progres signifikan, bukan hanya plesteran setengah jadi,” tambahnya.
Ruhdi mendesak aparat penegak hukum tidak tinggal diam. Ia menegaskan, Kepolisian maupun Kejaksaan harus segera turun tangan melakukan audit investigasi.
“Jangan tunggu sampai ada gejolak besar dari masyarakat. Kalau aparat lambat, rakyat bisa kehilangan kepercayaan pada semua lembaga, termasuk pada simbol agama yang mestinya suci,” katanya.
Lebih jauh, Ruhdi menilai ada dugaan kuat keterlibatan pejabat struktural dalam pemaksaan iuran. “ASN banyak yang diam karena ada tekanan.
Itu artinya pungutan ini tidak murni sukarela, tapi lebih mirip pemerasan dengan dalih ibadah. Kalau ini benar, maka dosa ganda: merampok hak rakyat sekaligus menodai kesucian masjid,” pungkasnya.
Kini, masyarakat Ketol menunggu tindak lanjut nyata. Apakah aparat berani membongkar “bau busuk” di balik dana masjid ini, atau justru ikut menjadi bagian dari sistem yang membiarkan praktik korupsi berjubah agama terus berulang.
(Pasukan Ghoib/Tim)