Jakarta |gabungnyawartawanindonesia.co.id.- Kondisi perekonomian nasional belakangan ini menjadi sorotan berbagai kalangan. Dari sektor perdagangan hingga industri, suara keluhan semakin sering terdengar. Daya beli masyarakat menurun, penjualan banyak usaha melambat, dan biaya operasional kian tinggi. Ditambah lagi, beban utang luar negeri yang terus menumpuk membuat situasi semakin mengkhawatirkan. Tak sedikit pengamat yang memperingatkan, jika kondisi ini tidak segera ditangani secara serius, Indonesia berpotensi menghadapi krisis ekonomi yang lebih dalam.
Di tengah kekhawatiran itu, muncul sebuah gagasan menarik dari seorang ekonom sekaligus praktisi bisnis perikanan, Chandra Setiadji, yang akrab disapa Andy. Ia juga berprofesi sebagai praktisi hukum, sehingga analisis yang ia sampaikan cukup komprehensif, memadukan logika ekonomi sekaligus perspektif keadilan sosial.
Menurut Andy, pemerintah sebaiknya tidak hanya mengandalkan instrumen klasik seperti pajak, pinjaman, atau program stimulus. Ia menilai sudah waktunya membuka ruang partisipasi sukarela dari para kelompok ekonomi atas—mereka yang termasuk golongan kaya raya dan konglomerat di Indonesia.
“Kalau kita melihat data, orang kaya di Indonesia jumlahnya ribuan, bahkan ada ratusan yang masuk kategori konglomerat. Mereka inilah yang bisa diminta partisipasinya untuk membantu negeri, di luar kewajiban formal seperti pajak,” ujar Andy penuh harap.
*Partisipasi Sukarela, Bukan Paksaan*
Andy menekankan, usulan ini bukanlah bentuk kewajiban baru atau pajak tambahan. Menurutnya, pajak sudah jelas menjadi kewajiban setiap warga negara sesuai regulasi. Namun, dalam situasi darurat ekonomi, peran kesukarelaan dan solidaritas justru bisa menjadi solusi alternatif yang memberi napas baru bagi keuangan negara.
“Tentu ini di luar yang wajib berupa pajak dan tanggung jawab lain. Jadi sifatnya sukarela. Kalau orang yang sudah berlebih mau menyisihkan sebagian hartanya untuk negara, ini akan menjadi bentuk cinta tanah air yang nyata,” tambahnya.
Ia mencontohkan, jika 1.000 orang kaya di Indonesia secara sukarela menyumbangkan sebagian kecil dari kekayaannya, potensi dana yang terkumpul bisa mencapai ratusan triliun rupiah. Dana tersebut, menurut Andy, bisa digunakan untuk menopang sektor-sektor vital yang saat ini sedang lesu, seperti subsidi usaha kecil, stabilisasi harga pangan, atau pembangunan infrastruktur yang berdampak langsung pada masyarakat.
*Perspektif Keadilan Sosial*
Sebagai praktisi hukum, Andy juga mengaitkan gagasannya dengan aspek moral dan keadilan. Ia menegaskan bahwa kekayaan yang dimiliki seseorang pada dasarnya juga lahir dan tumbuh di tanah air. Dengan kata lain, ada kontribusi besar dari sumber daya Indonesia, tenaga kerja lokal, dan pasar domestik yang mendukung kesuksesan para konglomerat.
“Maka wajar bila ketika negara menghadapi beban berat, mereka yang sudah lebih sejahtera ikut membantu. Tidak ada unsur paksaan, ini soal kesadaran,” tegasnya.
Ia menambahkan, semangat gotong royong yang menjadi identitas bangsa seharusnya tidak hanya hidup di masyarakat bawah, tetapi juga diteladani oleh kalangan elit ekonomi. Apalagi dalam sejarah bangsa, banyak contoh nyata solidaritas kelas atas yang berperan membantu stabilitas negara di masa krisis.
*Tantangan dan Potensi*
Meski gagasan ini terdengar menarik, Andy tidak menutup mata terhadap tantangan yang akan muncul. Salah satunya adalah bagaimana memastikan dana sukarela itu benar-benar dikelola secara transparan dan digunakan tepat sasaran. Tanpa mekanisme yang jelas, partisipasi sukarela berpotensi menimbulkan keraguan.
Karenanya, Andy menyarankan agar pemerintah menyiapkan suatu wadah resmi—bisa berupa lembaga khusus atau program nasional—yang bertugas mengelola kontribusi sukarela dari kelompok ekonomi atas. Lembaga ini harus diaudit secara berkala dan hasilnya dipublikasikan secara terbuka agar masyarakat, terutama para donatur, memiliki kepercayaan penuh.
“Kalau dikelola transparan, saya yakin partisipasi itu akan datang. Banyak orang kaya yang sebenarnya peduli, tapi mereka ragu karena takut dana yang disumbangkan tidak jelas ke mana larinya,” katanya.
*Ajakan Moral di Tengah Ancaman Krisis*
Dalam konteks yang lebih luas, gagasan Andy sejatinya merupakan ajakan moral. Ia ingin membangkitkan kesadaran bahwa bangsa ini hanya bisa bertahan menghadapi badai ekonomi bila seluruh elemen masyarakat mau bergandengan tangan. Tidak hanya rakyat kecil yang menanggung beban lewat kenaikan harga kebutuhan pokok, tetapi juga para elit yang memiliki kemampuan finansial lebih.
“Ini semua bisa dilakukan atas dasar kesadaran yang tidak dipaksa, demi negara yang dicintai,” pungkas Andy.
Gagasan ini mungkin terdengar sederhana, bahkan idealis. Namun di baliknya tersimpan pesan kuat bahwa dalam kondisi sulit, keikhlasan dan solidaritas menjadi modal sosial yang tak ternilai. Apalagi di tengah globalisasi ekonomi yang serba materialistis, ajakan untuk kembali pada nilai-nilai keikhlasan justru bisa menjadi oase yang menyejukkan.
Apakah usulan Andy ini akan didengar pemerintah dan mendapat sambutan dari kalangan kaya raya tanah air? Hanya waktu yang bisa menjawab. Namun, setidaknya ia telah membuka ruang diskusi baru tentang bagaimana cara bangsa ini mengatasi krisis dengan semangat gotong royong yang autentik.
(Red/KBO Babel)