Kalimantan Barat, gabunganwartawanindonesia.co.id-Di sebuah negeri yang gemah ripah loh jinawi, di mana pena adalah pedang dan kata-kata adalah peluru, sebuah drama epik tengah berlangsung.
Kisah ini bermula dari sebuah gedung megah bernama Persatuan Wartawan Indonesia Kalimantan Barat, atau yang lebih akrab disapa PWI Kalbar.
Di sanalah, di antara tumpukan koran dan deretan komputer, badai mulai mengamuk, mengoyak-ngoyak kedamaian yang selama ini diselimuti oleh semangat persatuan.
Seorang pria tegap, dengan sorot mata yang menyimpan bara amarah, berdiri tegak. Ia adalah saksi bisu dari sebuah kekacauan yang tak kunjung usai. Ia adalah kita, para pembaca setia yang haus akan kebenaran.
Hendry Chairudin Bangun dan Kompromi yang Berujung Nestapa
Di tengah riuhnya pusaran konflik, muncul sosok yang seolah menjadi dalang di balik layar.
Dialah Hendry Chairudin Bangun, yang dengan kebijaksanaan dan komprominya, mencoba merajut kembali benang-benang persatuan yang mulai tercerai-berai.
Namun, layaknya sebuah drama, kompromi yang diharapkan menjadi jalan keluar justru menjelma menjadi awal dari sebuah nestapa.
Ketua Bidang UKW PWI Pusat, Aat Surya Safaat, dengan mimik serius, mencoba meluruskan pandangan yang keliru. “Bukan begitu tafsirannya,” tegasnya.
“Para Plt tidak serta-merta dianggap tidak sah. Kongres tetap mengacu pada DPT Kongres Bandung, sebagai jalan tengah.”
Sebuah kompromi yang diharapkan menjadi obat penawar, ternyata hanya menjadi balsem sementara bagi luka yang menganga.
Namun, benih-benih perpecahan telah tersemai. Hendry Chairudin Bangun, dengan segala daya upayanya, berusaha merangkul semua pihak.
Namun, takdir seolah berkehendak lain. Plt yang ditunjuknya di berbagai daerah, termasuk Jakarta, Jawa Timur, dan Jawa Barat, seolah terpinggirkan. Hanya Plt Banten yang mendapat kesempatan. Sebuah ironi yang menggelitik, bukan?
Antara Ambisi dan Realita Kejam
Di tengah hiruk pikuk perseteruan, muncul nama Kundori, bekas Ketua PWI Kalbar.
Ia adalah tokoh sentral dalam drama ini, seorang yang ambisinya seolah tak terbendung.
Namun, nasib berkata lain. Surat Keputusan PWI Pusat Nomor: 133-PGS/A/PP-PWI/II/2025, seolah menjadi palu godam yang memukul mundur langkahnya. Ia diberhentikan dari jabatannya, digantikan oleh Wawan Suwandi sebagai Plt Ketua.
Sungguh, nasib memang kejam. Ambisi yang membara, semangat yang menggebu, harus kandas di tengah jalan.
Kundori, sibekas kini hanya bisa meratapi nasibnya, menyaksikan bagaimana tampuk kekuasaan berpindah tangan.
Di tengah ini muncul nama Wawan Suwandi, sang Plt Ketua yang baru. Ia adalah sosok yang kini memegang kendali, mengemban tugas berat untuk memulihkan kembali marwah PWI Kalbar.
Apakah ia akan menjadi penyelamat, ataukah justru menjadi korban dari intrik yang tak berkesudahan?
Wawan Suwandi, dengan segala keterbatasannya, harus berjuang keras. Ia harus menghadapi berbagai tantangan, mulai dari konflik internal hingga tekanan dari berbagai pihak. Sebuah tugas yang tak mudah, layaknya mendaki gunung es yang terjal.
Di tengah pusaran konflik, muncul suara-suara bijak dari para dewan pakar. Maman Suratman, dengan nada yang penuh kearifan, mengingatkan agar semua pihak bisa mengikuti perkembangan PWI pusat. “Jangan ambisius,” ujarnya, “yang hanya membuat pernyataan yang menyesatkan publik.”
Namun, nasihat bijak itu seolah tak berbekas. Suara-suara sumir itu hanya menjadi angin lalu, tak mampu meredam gejolak yang semakin memanas. Sebuah ironi yang memilukan, bukan?
Kisah PWI Kalbar ini belum berakhir. Drama perebutan kekuasaan masih terus berlanjut, dengan berbagai intrik dan kejutan yang tak terduga.
Masa depan PWI Kalbar kini berada di ujung tanduk, dipertaruhkan oleh ambisi, kepentingan pribadi, dan perseteruan yang tak kunjung usai.
Akankah persatuan kembali terjalin? Ataukah perpecahan akan semakin merajalela? Hanya waktu yang akan menjawabnya.
Pewarta : Rinto Andreas